ISTIQOMAH - PROFESIONAL - AMANAH

MATERI KULIAH HAM STH GARUT - III

KONSEP KEADILAN DALAM PERLINDUNGAN HAM DAN KETENTUAN BERPERILAKU APARAT PENEGAK HUKUM (CODE OF CONDUCT)

Permasalaham HAM yang sering muncul kepermukaan bukanlah semata-mata masalah rumusan dari bunyi pasal-pasal di dalam perundang-undang, tetapi juga masalah penafsiran oleh berbagai kalangan, baik mereka yang berbingkai disiplin ilmu hukum, praktis hukum, maupun mereka yang berlatar belakang disiplin ilmu lainnya (misalnya social), dan juga para elit penguasa. Sebab pada kenyataannya adalah bahwa secara psikologis orang akan merumuskan pendapatnya berdasarkan pengalaman-pengalaman dimasa lalunya yang mereka ikuti, alami, amati dan juga keyakinan subyektif serta lain-lain perspektif pribadinya. Maka dari itu, klaim kebenaran tentang penafsiran terjadinya pelanggaran HAM saat ini tidak hanya/monopoli milik para sarjana hukum. Dengan perkataan lain, bahwa “hukum itu adalah seperti kita ingin melihatnya”.

Khusus tentang HAM, karena prinsip universalitasnya, maka meskipun suatu Negara, belum atau tidak meratifikasi konvensi PBB tentang HAM maka tetap dapat diajukan tuntutan bilamana terjadi pelanggran HAM. Hal ini tentu berbeda dengan tindak pidana yang bukan HAM, yang menganut berlakunya locus delicti dan tempus delicti. Dalam banyak kasus, seperti pengadilan terhadap kejahatan genoside dan kejahatan perang, prinsip universalitas HAM nampak tepat menjadi contoh dalam hal perbedaannya. Kadangkala Negara tertentu atau penguasa tertentu menolak dituduh telah melanggar HAM, tetapi dunia internasional atau kalangan tertentu menuntutnya telah terjadi pelanggaran HAM, atau hanya terjadi tindak pidana oleh oknum petugas. Perbedaan dalam penafsirkan ini juga diikuti dengan cara bagaimana cara mengadili pelanggar HAM. Pelanggaran HAM tentu saja di adili di Pengadilan HAM (UU No.26 Tahun 2000) yang dulu di Indonesia dijalankan oleh Mahkamah Ad Hoc, sedangkan tindak pidana lainnya diadili di Pengadilan negeri.

Ilmu pengetahuan memberi kerangka, dalam menafsirkan hukum, seperti tipe penafsiran tata bahasa, sejarah, teologis, sistematis, namun tidak dapat diabaikan adanya fariable sosiologis di belakang itu semua. Pun demikian bahwa fariable lain yang juga dominant adalah bahwa hukum juga memiliki paradigma, yang akan mengarahkan cara seseorang melihat dan memahami hukum. Paradigma tersebut bersifat sosiologis, rekayasa social, dan dipengaruhi oleh visi politik, keyakinan dan lain-lain. Lebih jauh, dapat ditarik suatu hipotesis awal bahwa konsep keadilan dan kebenaran menurut hukum juga “sering” diposisikan dalam kontek-kontek seperti tersebut di atas. Keadaan-keadaan di atas yang sering mempengaruhi dalam penafsiran hukum tersebut, penulis menyebutnya sebagai pengaruh struktur social. Karena proses pemberian keadilan tidak berlangsung dalam ruang hampa yang steril dari pengaruh-pengaruh social maka konsep keadilan harus pula dilihat dari struktur social, dari sinilah kemudian pemberian keadilan sarat dengan perbedaan, bahkan tidak jarang mengundang kontroversi, karena memang di dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan politik Negara secara global, penafsiran bahwa telah terjadinya pelanggaran HAM tidak akan lepas dari intervensi dan muatan-muatan politis Negara.

Demikianpun penting pula disoroti bagaimana pelanggaran HAM tersebut terjadi dari aspek sumber daya manusianya. Oleh karena itu ada baiknya penulis nukilkan penjelasan Prof. DR. Satjipto Rahardjo, SH.

Pada waktu KUHAP diundangkan, bangsa Indonesia bersorak gembira dengan mengatakan, “suatu karya agung”.. Tetapi sekarang banyak orang terutama para yuris, mulai menyangsikannya. Menurut hemat Satjipto Rahardjo, “agung atau tidak agung, KUHAP masih sangat berguna, tetapi belum dapat diwujudkan dengan baik (sebenar-benarnya). Kelemahan tersebut terletak pada manusianya atau sumber daya manusianya. Di sinilah letak pentingnya pendekatan sosiologis, yang melihat perilaku manusia-manusia yang menjalankan hukum, baik para pejabat, kalangan profesi maupun masyarakat itu sendiri”. Dengan demikian permasalahan HAM tidak terletak pada dataran hukum perundang-undangan, melainkan lebih pada moral, atau dengan kata lain masalah HAM bukan masalah peraturan melainkan lebih merupakan masalah perilaku.

Begitu pentingnya penghormatan tehadap HAM oleh aparat hukum (khususnya polisi), sehingga Majelis Umum PBB pada tanggal 17 Desember 1979 mengeluarkan merekomendasikan Code Of Conduct For Law Enforcement Officials (Ketentuan Berperilaku Bagi Aparat Penegak Hukum). Dengan demikian sejak awal memang disadari bahwa aparat penegak hukum menjadi bagian target dari program sosialisasi perlindungan HAM. Penghormatan HAM oleh aparat penegak hukum merupakan “keadilan” pertama yang harus oleh dirasakan oleh masyarakat.


KETENTUAN BERPERILAKU BAGI PETUGAS PENEGAK HUKUM

(Code Of Conduct For Law Enforcement Officials)

Pasal 1.

Para penegak hukum harus senantiasa menjalankan tugas yang dibebankan oleh hukum kepada mereka, dengan melayani masyarakat dan melindungi setiap orang dari tindakan-tindakan yang melanggar hukum, sesuai dengan tingkat tanggungjawab tinggi yang di tuntut oleh profesinya.

Pasal 2.

Dalam menjalankan tugasnya, petugas penegak hukum harus menghormati dan melindungi martabat manusia dan mempertahankan serta menjunjung tinggi HAM semua orang.

Pasal 3.

Para petugas penegak hukum boleh menggunakan kekerasan hanya ketika benar-benar diperlukan dan dibutuhkan dalam rangka melaksanakan tugas mereka.

Pasal 4.

Hal-hal yang bersifat rahasia yang berada dalam kewenangan petugas penegak hukum, harus tetap dijaga kerahasiaannya, kecuali jika diperlukan dalam pelaksanaan tugas atau untuk kepentingan peradilan yang menentukan sebaliknya.

Pasal 5.

Petugas penegak hukum tidak boleh melakukan, menghasut atau mentolerir tindakan penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawai atau merendahkan martabat manusia; demikian pula setiap petugas penegak hukum tidak boleh menggunakan perintah atasan atau keadaan luar biasa seperti keadaan perang atau ancaman perang, ancaman terhadap keamanan nasional, instabilitas politik negeri atau keadaan darurat umum lainnya sebagai alasan pembenar untuk melakukan penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.

Pasal 6.

Petugas penegak hukum harus menjamin perlindungan sepenuhnya terhadap kesehatan orang-orang yang berada dalam tahanannya, lebih khusus lagi, harus segera mengambil langkah untuk memberikan pelayanan medis bilamana diperlukan.

Pasal 7.

Para petugas penegak hukum tidak boleh melakukan korupsi dalam bentuk apapun. Mereka juga harus dengan keras melawan dan memberantas tindakan-tindakan semacam itu.

Pasal 18.

Para petugas penegak hukum harus menghormati hukum dan kode etik yang ada. Mereka juga harus mengerahkan segenap kemampuan mereka, mencegah dan dengan keras melawan setiap pelanggaran yang berkaitan dengannya.

Para penegak hukum yang mempunyai alasan untuk merasa yakin bahwa pelanggran terhadap Code of Conduct telah terjadi atau akan terjadi, harus melaporkan kepada atasan yang berwenang dan bilamana perlu juga kepada pihak berwenang atau badan-badan terkait lainnya, yang mendapat kuasa untuk meninjau atau melakukan tindakan-tindakan perbaikan.

0 Comments:

Post a Comment



Designer: Douglas Bowman | Dimodifikasi oleh Abdul Munir Original Posting Rounders 3 Column