ISTIQOMAH - PROFESIONAL - AMANAH

QISHAASH


HUKUM PEMBUNUHAN dan HUKUMAN MATI

Oleh: KOMPOL Drs. Taufik Rohman, SH., MH. ** Kasubbag Bim Luh Ro Binamitra Polda Jabar. ** Anak seorang petani.


Tulisan Ini menelaah polemik tak berkesudahan tentang hukuman mati Amrozi and the Gang, dalam perspektif Islam dan hukum positif di Indonesia.

Baca pula beberapa tulisan pada, http://www.polisi-sholeh.blogspot.com


1. Bagaimana Tafsir Membunuh Dalam Islam?

“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. (Al-An’aam [6]: 151)

Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (Al-Isra’ [17]: 33). TOLONG DIRENUNGKAN... sebagian besar masyarakat muslim tidak menyukai (benci) kelakuan Pemerintah Amerika yang arogan dan selalu mencurigai/ memusuhi islam. Oleh karena itu kalau ada negara atau sebagaian orang berani melawan Pemerintah Amerika, serta merta (tanpa sadar) kita dukung. Kalau opini Bom Bali dibelokkan seolah-oleh pelaku pengeboman adalah sedang melawan Amerika, kemudian persepsi (subyektifitas) kita masuk dalam frame logikanya, maka kita makin jauh dari esensi permasalahan, dan kita makin tersesat menganalisa pokok permasalahan, karena mengebom Bali tidak sama maknanya dengan melawan Amerika, dan itu artinya tidak ada relevansinya Bom Bali dengan jihad. "Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa (Al-Maidah [5]: 8). JANGAN TERSESAT. Kita harus kritis (hati-hati/waspada) tidak boleh meng-IYA-kan atau membenarkan segala pembelaan Pelaku Bom Bali, meskipun mereka adalah kerabat muslim yang lain. "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu... maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala yang kamu kerjakan" (An-Nisa [4]: 135).

Sengaja Membunuh (Dosa Membunuh dan Balasan).

Dan barangsiapa yg membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (An-Nisaa [4]: 93) Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain (bukan karena qishaash), atau bukan karena membuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya; dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan ia telah memelihara kehidupan seluruh manusia (Al-Maidah [5]: 32).

Tidak Disengaja Membunuh dan Diat.

Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nisaa [4]: 92).

Intisari:

  1. Membunuh adalah perbuatan keji/ dosa besar
  2. Membunuh adalah perbuatan zalim, tetapi membunuh karena perintah hukum/qishaash tidak berdosa
  3. Membunuh balasannya adalah neraka jahanam dan azab yang besar
  4. Membunuh yang tidak sengaja ada kifaratnya, yaitu memerdekan budak yang beriman, meminta maaf kepada pihak keluarga korban, dan membayar diat, atau menebusnya dengan puasa dua bulan berturut-turut.

2. Wajibkah Qishaash ?

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. (Al-Baqoroh [2] :178)

Qishaas Adalah Jaminan kelangsungan Hidup:

Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (Al-Baqoroh [2] : 179). Dengan qishaash, terjamin kehidupan atau keselamatan orang lain bahkan keselamatan orang banyak. Perhatikan Allah mengakhiri ayat ini dengan kalimat, “… hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” menunjukkan bahwa, di kemudiaan hari tentang qishaash ini akan ada beberapa orang yang keberatan bahkan menolak dengan berbagai argument yang mereka susun. Tetapi Allah menghimbau kita untuk merenung dan menggunakan kekuatan akalnya (untuk berfikir), dan kejernihan hatinya untuk merasakan penderitaan keluarga korban yang terbunuh. Ini menunjukkan bahwa qishaash bukanlah suatu hukum yang serta merta Allah perintahkan untuk dipatuhi, tetapi juga sangat rasional yang dapat dianalisis secara akademis, dan multi interdisipliner. Akhir penjelahan intelektual tentang qishash ini seharusnya mengarahkan manusia untuk semakin bertaqwa, bukan ingkar karena kesombogan intelektualnya.

Intisari:

  1. Qishaash hukumnya adalah wajib
  2. Kewajiban qishaas menunjukkan bahwa perbuatan membunuh HARUS tidak dilakukan, dan Allah “MARAH” dengan pelaku pembunuhan.
  3. Qishaash, adalah suatu ketentuan untuk menjamin berlangsungnya kehidupan yang aman, dan damai di masyarakat. Bayangkan kalau pembunuhan tidak dihukum yang berat, atau bisa diganti semata-mata karena kekuatan uang? Adakah kehidupan yang fitrah dan wajar? Apa yang bisa dilakukan manusia apabila dimasyarakat berlaku hukum rimba?
  4. Apabila terjadi pembunuhan (yang tidak disengaja) atau karena alasan yang benar (misalnya membela diri), maka apabila pelaku mendapat pemaaf dari keluarga korban (keluarga korban melapas hak qishaashnya), maka ia wajib membayar diat, atau kalau dia tidak mampu, maka wajib baginya puasa dua bulan berturut-turut. Memaafkan pembunuhan juga dapat menghapuskan dosa orang/ keluarga yang memaafkan. Ini adalah solusi islam (ketentuan Allah), sebagai suatu keringanan bagi mereka yang menyadari kesalahannya dan kemuadian bertobat, sekaligus suatu rahmat Allah bagi manusia sekalian alam.
  5. Qishaash memberikan efek prevensi general/ mencegah bagi masyarakat umum untuk tidak melakukan pembunuhan. Dan bagi mereka yang mendapat pengampunan/ pemaaf, hal ini merupakan prevensi special, agar kehidupannya kedepan kembali lurus, ikhlas, dan sabar.

3. Tata Cara Qishaash (Membalas Karena Pembunuhan):

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada Qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak Qishash) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Al-Maidah [5]: 45)

Hadist Riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda:

Sesungguhnya Allah telah menetapkan kebaikan atas segala sesuatu, maka apabila kalian membunuh, maka baikkanlah cara membunuhnya, dan apabila kalian menyembelih binatang, maka baikanlah cara penyembelihannya dan hendaklah salah seorang di antara kalian itu menajamkan pisau sembelihannya, supaya bisa menenangkan binatang sembelihan.

IntisarI:

  1. Bagaimana pembunuhan dengan Bom (seperti Bom Bali), dimana fisik korban tercabik-cabik, dan tidak utuh lagi? Bagaimana dengan peristiwa mutilasi? Bagaimana cara Qishaashnya? Renungkan…!!!
  2. Melepas hak qishaash dapat menjadi penebus dosa.
  3. Qishaash tidak boleh dilakukukan secara berlebihan, atau baikkanlah cara membunuhnya atau qishaashnya, dengan tujuan tidak menyiksa, hal ini untuk menunjukkan kemuliaan islam.
  4. Apa yang dimaksud Nabi Muhammmad dengan “BAIKKANLAH CARA MEMBUNUHNYA” ? Adakah Nabi sedang menyuruh kita bertafakur: about sense of future? The future is technology? dan “peace by technology”. Itu semua mengharuskan manusia berijtihad. Tetapi intinya adalah, “qishaash itu ada, tetapi baikkanlah cara membunuhya”.

4. Diat atau Memaafkan:

Perhatikan QS. Al-Baqoroh [2]: 178, yang penulis sadur di atas,.. bahwa bagian ini lebih dimenekankan tentang solusi islam, yaitu pintu rahmat Allah, agar pelaku pembunuhan yang telah menyadari kesalahannya tidak putus asa dari ampunan Allah, dan bertobatan nashuha.. Kalau tidak ada pintu penyelamat dari Allah bisa jadi ia merasa sia-sia, tak berguna lagi untuk apa ia hidup, kemudian bunuh diri dan itu membuatnya ia makin jauh dari rahmat Allah. Tetapi tentu saja setiap tahap dan segala proses menuju taubatan nashuha tadi harus dilalui, yaitu menyadari kesalahannya, memohon maaf pada keluarga korban, memerdekan budak yang beriman, membayar diat, dan atau puasa dua bulan berturut-turut. Tidak mudah memang, tetapi begitulah Allah hendak menunjukkan jalan yang benar (solusi) kepada umatnya yang bergelimang dosa perbuatan keji dan zalim.

HUKUMAN MATI DALAM KHASANAH HUKUM DI INDONESIA :

Selain dalam kontek qishaash, hukuman mati diberlakukan bagi mereka yang memerangi kaum muslim. Bahkan kaum kafir yang tidak memusuhi orang muslim harus dilindungi keselamatan jiwanya.

Segera harus Penulis ajukan beberapa pertanyaan:

  1. Siapa korban Bom Bali?
  2. Selain korban mati, berapa banyak orang yang menerima akibat dari tragedy itu, baik langsung maupun tidak langsung.?
  3. Siapa musuh sesungguhnya pelaku Bom Bali?
  4. Siapa sesungguhnya pelaku Bom Bali, sehingga ia merasa memiliki klaim atau otoritas untuk membunuh orang yang tak berdosa?
  5. Kenapa Indonesia (tepatnya Bali) menjadi pilihan atau sasaran pengeboman?
  6. Apa dan bagaimana hubungan korban dengan Tujuan pengeboman?
  7. Bagaimana reason contruksinya, sehingga pembunuhan Bom Bali dianggap dapat dibenarkan secara islam ?
  8. Bisakah hanya dengan modal putus asa dapat masuk surga?
  9. Apa sebutan yang paling cocok untuk pelaku Bom Bali?

Penulis tidak akan menjelaskannya atau menjawab pertanyaan di atas, biarlah pembaca menyimpulkannya sendiri, dengan alur logika yang penulis susun secara sistematis. Semoga pembaca menemukan jawabannya.

Dalam literature perjalanan masyarakat muslim di masa awal sejarah islam, hukuman mati dilaksanakan dengan cara dipancung, dan belum dikenal hukuman mati dengan cara ditembak atau dilakukan dengan cara disuntik mati (euthanasia). Sepakat para ulama bahwa hukuman mati dalam khasanah hukum islam memang ada dan diperbolehkan. Dapat pula disimpulkan bahwa proses mencapai kematian itu adalah secepat-cepatnya, yaitu untuk menghindari rasa sakit. Sedangkan yang masih menyisakan perdebatan adalah bagaimana cara mencapai kematian, apakah dipancung seperti awal sejarah islam di Arab Saudi, ataukah boleh dengan cara lain? Misalnya dengan cara ditembak atau disuntik mati (euthanasia). Yang jelas bahwa hukuman mati dalam islam adalah SAH, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran dan Hadist.

  1. Hukuman mati dilaksanakan dengan cara ditembak

Hukuman mati merupakan salah satu bentuk hukuman yang sah dan berlaku di Indonesia yang terakomodasi dalam KUHP (Pasal 10). Beberapa UU yang juga mencantumkan ancaman hukuman hati, misalnya UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Psikotropika dan UU Narkotika, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dll. Dasar hukum dari hukuman mati dengan cara ditembak adalah Penetapan Presiden No.2 Th.1964, dimana dengan UU No.5 Th.1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai UU, maka Peraturan Presiden No.2 Th.1964 dengan sendirinya berubah menjadi UU No.2/Pnps/1964 tentang Tatacara Pelaksanaan Hukuman Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Militer. Walaupun UU ini disahkan oleh DPR-GR namun merupakan produk hukum yang sah dan diakui, dimasa transisi dari pemerintahan orde lama ke orde baru. Keabsahan ini juga didukung oleh ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 45 yaitu, “segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”.

  1. Penembak dilakukan oleh regu tembak (terdiri dari 10 orang penembak dan dipimpin 1 perwira polisi), di dampingi satu orang rohaniawan dan seorang dokter.

Pasal 14 (3) UU No.2/ Pnps/1964 à ditembak di jantung,

(Bila ada tanda-tanda bahwa ia belum mati maka laras senjata diarahkan ke kepala untuk melepaskan tembakan pengakhir)

Pasal 14 (4) UU No.2/Pnps/1964 à ditembak di kepala

  1. Psl 28.I(1) UUD 45: Hak untuk hidup… adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Dengan ketentuan pasal ini dan memperhatikan system susunan perundang-undanganan di Indonesia maka sebagain ahli hukum dan LSM yang mengatasnamakan “HAM” mengatakan bahwa hukuman mati adalah illegal. Mereka menuduh bahwa hukuman mati adalah pembunuhan lainnya lagi dengan alasan yang berbeda. Mereka sepertinya hendak menimbang, bahwa hukum Allah perlu disempurnakan. Astaqhfirullah. Ataukah kita akan mengungkit bahwa UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dikenakan kepada pelaku Bom Bali, adalah Ilegal karena bersifat retroaktif/ bertentangan dengan asas legalisme (Pasal 1 [1] KUHP)? Lupakah kita, tiada asas tanpa terkecuali? Kekecualian ini tentu harus diterapkan karena korban kekejian terorisme Bom Bali, sangat mengerikan, menyayat hati, merendahkan harkat martabat manusia, dan korbannya (termasuk muslim) orang yang tak ada kaitan apapun dengan pelaku pengeboman, mayatnya tak utuh lagi dan anggota badannya terpisah bertebaran? Untuk atas nama apa kekejian itu bisa dimaklumi? TIDAK ADA.

Tetapi bagaimana menempatkan kedudukan agama, yang diakui bahwa agama menjadi sumber inspirasi filosofis dan ideologis terbentuknya perundang-undangan di Indonesia? Bagaimana kaidah formil dan kaidah materiil dari suatu perundang-undangan mampu mengakomodasi nilai-nilai filosofis dan ideologis itu? Padahal sumber nilai filosofis dan idiologis manusia Indonesia adalah agama (dalam hal ini Islam). Bagaimana dengan Pancasila dan Pembukaan UUD 45 (alinea ke-3), yang menempatkan nilai-nilai transadental (keimanan kepada Allah) yang diyakini sebagai awal terbentuknya Negara ini. HARUS ADA SOLUSI pemutus, namun solusinya tentu tidak bisa memuaskan semua pihak. Adakah pisau analisis yang mampu membedahnya, sehingga mampu menampilkan sisi keadilan yang BUKAN HANYA keadilan di atas kertas atau keadilan menurut UU” TETAPI keadilan yang hakiki, yaitu keadilan yang bersumber dari hati yang jernih yang lahir dari keinsafan “berani berbuat berani bertanggungjawab”. UU yang tidak sempurna ataukah Al-Quran yang tidak sempurna? Arifkah berkiblat kepada legalisme tetapi secara substansi menghancurkan rasa kemanusian dan rasa keadilan hakiki?. Mana yang lebih utama, kepastian atau keadilan substansif? Untuk poin inipun, penulis mempersilahkan pembaca menyimpulkan sendiri.

  1. Makna rasa sakit dalam proses Penyiksaan hingga akhirnya mati:

Kaki terantuk batu sakit, tertabrak mobil dan akhirnya meninggal sakit, perempuan melahirkan bayipun sakit. Sakit adalah proses wajar. Bahkan rasa sakit adalah suatu proses yang kadang harus dilewati untuk sampai kepada kesembuhan. Sakit-sakit lainnya sejenis ini adalah suatu proses yang wajar, yang harus dilalui. Tetapi dimensi rasa sakit menjadi berbeda ketika polisi menyulut rokok dan memukuli pengedar narkoba agar mau mengaku dan menunjukkan siapa pemasok/ Bandar narkoba, tetapi akhirnya meninggal. Atau seorang bidan yang melakukan praktek aborsi illegal, yang mengakibatkan pasien/kliannya meninggal karena kesakitan dan kehabisan darah. Ini semua adalah meninggal dalam dimensi penyiksaan, bukan sebagai peristiwa yang wajar yang dikehendaki.

  1. Makna rasa sakit dalam proses kematian (proses sesaat menjelang mati):

Pada umumnya, semua orang yang akan meninggal diyakini melalui proses rasa sakit. Proses mati ditabrak mobil sakit, proses mati karena stroke sakit, proses mati karena minum-minuman keras oplosan sakit, proses mati karena HIV/AID sakit, proses mati karena kanker sakit. Sakit yang dirasakan menjelang kematian yang penulis sebut tadi, bahkan terasa lebih sakit dan lebih menyiksa dari pada 3 menit menjelang proses kematian karena ditembak oleh perampok, atau karena proses eksekusi hukuman mati. Jadi cara mati seperti apa yang menurut pembaca lebih baik? (tentu penulis tidak bermaksud menafikan polemic hukum pancung di dalam islam). Cobalah jelajahi secara intelektual imani proses-proses tadi. Banyaklah bertafakur.

  1. Otoritas penilai tentang rasa sakit:

Siapa sesungguhnya yang punya otoritas menilai rasa sakit menjelang kematian bagi terpidana mati? Dokterkah? Ahli hukumkah? Atau si terpidana mati? Secara sinis seorang teman mengajukan pertanyaan retroaktif kepada Penulis, "begitu pentingkah memperdebatkan rasa sakit bagi orang yang (pasti) akan meninggal karena hukuman mati?". Ketika itu Penulis menjawab, "memperdebatkan kebenaran, sesungguhnya hanya mempertontonkan kebodohan". Dulu ketika Usman bin Affan menjelang kematiannya karena punggungnya ditombak musuh, ia meminta supaya tombaknya dicabut ketika dia sujud dalam sholat. Karena dalam kekhusukkan sujudnyalah dia tidak mengingat apapun selain Allah. Usman bin Affan-pun mati dengan damai, meskipun ia mengalami proses merasa sakit. Secara medis belaka siapapun tidak bisa memahami bahwa Usman meninggal dengan rasa damai. Tetapi itulah yang dirasakan Usman bin Affan sahabat Nabi. Jadi dengan begitu rasa sakit menjelang kematian, tidak bisa hanya dimaknai secara fisik, tetapi harus dimaknai secara psikologis. Apa unsur psikisnya? Unsurnya adalah kesiapan Si terpidana menghadapi dan keikhlas menerima kematian. Mengalami rasa sakit menjelang kematian adalah wajar. Keikhlasan menerima eksekusi mati melahirkan kepasrahan. Dan mereka yang takut datangnya kematian, menerima eksekusi mati dengan hati yang bergejolak atau marah. Hakekatnya cara hukuman mati diberikan dengan prinsip untuk memepercepat proses kematian, bukan menyiksa.

Hukuman Mati Adalah Ketentuan Allah, Dan Manusia Yang Sombong Berfikir, Bahwa Ia Mampu Menciptakan Keadilan Yang Lain Lagi. Astaghfirullah.

Bandung, 28 Oktober 2008

1 Comment:

  1. Anonim said...
    ASWW. Walaupun agak sulit bagi saya, tapi saya dapat menyimpukan tulisan Pak Taufik. Jangan berhenti menulis pak taufik... lumayanlah, tulisannya merupakan hiburan yang mahal buat saya. Trims

Post a Comment



Designer: Douglas Bowman | Dimodifikasi oleh Abdul Munir Original Posting Rounders 3 Column