ISTIQOMAH - PROFESIONAL - AMANAH

NASEHAT:

AGAR ATASAN MENGHORMATI PENDAPAT BAWAHAN
Oleh: KOMPOL Drs. Taufik Rohman, SH., MH. ** KASUBBAG Bim Luh Biro Binamitra Polda Jabar ** Anak seorang petani.

udz’u illasabiila rabbika bilhikmah, wal mauidzotil khasanah wajaa dilhum billatii hiyaa ‘ahsan”. (QS. An-Nahl: 125)


Imam Syafe’i, ketika berhadapan dengan pendapat orang lain yang ia ketahui bahwa pendapat orang lain itu tidak benar atau kurang benar, memberikan jawaban dengan pengandaian yang menunjukkan betapa ia tidak saja cerdas tetapi juga santun. Periwayat hadist yang sangat dihormati itu, menyampaikan kata-kata tawwadu’ (rendah hati), yang makin memencarkan kilau cahaya intelektulitasnya hingga kini; Pendapatku benar tetapi mengandung kemungkinan salah, sedangkan pendapat orang lain salah, tetapi mengandung kemungkinan benar”.

Muatan filosofis dari jawaban itu, sama sekali tidak menyiratkan keangkuhan intelektual seorang yang “agung”. Seharusnya keunggulan intelektual, yang dicerminkan dengan raihan derajat kesarjanaan maupun kedudukan, juga meneladani dan bersandar pada kata-kata Imam Syafe’i tadi. Tetapi memang tidak mudah menjadi pemimpin yang berhasil sekaligus dicintai. Dalam dimensi penghormatan terhadap pendapat bawahan, kedua prestasi tadi, -berhasil dan dicintai- seringkali tidak mudah untuk dicapai, karena hal itu membutuhkan kesabaran, sikap membimbing, dan mau mendengar suara bawahan. Di Kepolisian sangat kentara terjadi (walau mungkin tidak disadari), adalah bawahan justru “ngemong” atasan, sesuatu yang terbalik karena seharusnya atasanlah yang membimbing bawahan. Seorang bawahan ketika berbeda pendapat secara diametral dengan atasan, justru lebih banyak menarik diri kemudian mengikuti pendapat atasan. Hal ini semata-mata karena bawahan menghindari terjadinya pergeseran makna dari perbedaan pendapat menjadi konflik, bukan karena penghormatan terhadap kebenaran. Inilah yang seringkali melahirkan penghormatan semu, sementara atasan kehilangan kesempatan memiliki patner control yang konstruktif. Lebih celaka seandainya atasan justru lebih menyukai bawahan yang suka menjilat dan berbusa-basa-basi.

Kendala terbesar dalam membangun keeratan hati seorang atasan kepada bawahan, lebih banyak dipengaruhi oleh ketikdakmampuan dalam membangun komunikasi dengan bawahan, termasuk dalam hal ini adalah menghormati perbedaan pendapat, saran dan kritik, dengan mengendapkan ke “aku"-annya. Dan kendala terbesar dari seorang bawahan adalah ketidakmampuannya memilih cara yang santun dalam mengungkapkan perbedaan, dan perasaan takut menyinggung kebanggandiri atasan.


Mari kita sitir pelajaran dari ALLAH, bagaimana mengemas perbedaan pendapat, sebagaimana kutipan ayat Alquran di awal tulisan ini:
Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara (yang) lebih baik”. (QS. An-Nahl: 125).


Menyeru atau mengajak manusia ke jalan yang benar ternyata tidak cukup hanya mendasarkan pada niat baik saja. Kalau landasannya hanya niat yang baik saja maka mengajak orang kepada kebaikan sering melahirkan jawaban apologis "URUSI DIRIMU SENDIRI". Oleh karena itu Allah memberikan rambu yaitu mengajak kepada kebaikan itu dengan HIKMAH atau wisdom (bijak, arif dan santun, yang secara keseluruhan disebut sebagai siasah atau strategi). Hikmah sesungguhnya harus mencerminkan keunggulan teknikal, teorikal, khususnya bagaimana berurusan dengan manusia, moralitas, dan spiritual, sehingga mengajak akan melahirkan harapan dan wibawa. Dalam ayat ini juga terdapat perbedaan ungkapan antara apa yang dituntut dalam melakukan nasehat (mau’izhah), dan apa yang dituntut dalam melakukan bantahan (jidal). Dalam melakukan mauizhah cukup dengan cara yang baik (hasanah), tetapi dalam melakukan jidal tidak dibenarkan kecuali dengan cara yang lebih baik (ahsan). Harap diperhatikan bahwa mengajak mengandung makna rasa sayang, dan jauh berbeda dengan menakuti-nakuti apalagi mencela.

Mauizhah (biasanya) ditujukan kepada orang-orang yang menerima dan sudah komit dengan prinsip dan fikrah. Mereka tidak memerlukan kecuali nasehat yang mengingatkan, memperlembut hati, menjernihkan kekeruhan dan memperteguh tekad untuk kebaikan. Oleh karena itu ketulusan hati dan kesantunan dalam menyampaikan pendapat sudahlah cukup. Sedangkan jidal (biasanya) ditujukan kepada orang-orang yang menentang atau menyimpang, yang seringkali membuat orang yang berselisih pendapat dengan mereka tidak sabar sehingga mengeluarkan ungkapan kasar, sinis, kaku dan masa bodo/ cuek. Dalam jidal ini diperlukan strategi dan taktik berbicara atau "berdebat" untuk menurunkan derajat klaim "diri selalu benar" dari seorang atasan, namun tetap disampaikan dengan tulus dan santun.

Cara atau uslub-nya berdialog atau berbeda pendapat dengan atasan menjadi kunci keberhasilan bagi seorang bawahan agar ia menjadi bawahan yang “dihormati” atasan. Beberapa kunci silahkan untuk dipraktekkan oleh para bawahan.Baca pula teknik-teknik lainnya pada blog, http://www.polisi-sholeh.blogspot.com

1. Dengarkan dan pahami maksud dari pendapat atasan, dan jangan memotong pembicaraan atasan.

2. Focus dan berempati dengan ide-ide atasan, berikan dukungan atau pujian sebelum memberi saran atau kritik. Jangan mengkritik atau memberi saran kalau tidak perlu.

3. Jangan mengesankan diri lebih pintar dari atasan, karena tak ada satupun atasan yang ingin kelihatan bodoh atau ketinggalan dari bawahan.

4. Gunakan kata “kita” untuk suatu kesalahan yang dibuat atasan, dan gunakan “Bapak benar” untuk sesuatu ide yang benar, yang datangnya dari atasan.

5. Sandarkan semua ide yang baik atas nama atasan, yang menginspirasi untuk berbuat yang lebih baik. Misalnya: “menindaklanjuti perintah bapak, maka saya…..”

6. Gunakan kata-kata teguh tetapi lembut, yang menunjukkan ketegasan, hanya untuk persoalan jidal, sehingga anda akan dinilai sebagai pribadi yang memiliki prinsip. Kalau anda punya prinsip maka anda akan ternilai, dan apabila anda memilih "membeo" maka tunggu saatnya anda tidak diperlukan lagi.

7. Mintalah saran dan petunjuk untuk suatu ide yang akan kita kembangkan

8. Jangan pernah menolak perintah atasan, tetapi mintalah bimbingannya atau teman pendamping untuk melakukan suatu perintah yang kita anggap berat.

9. Berikan alternative tindakan, sebagai cara halus untuk membuat atasan bimbang atau ragu terhadap pendapatnya sendiri.

10. Jangan ragu untuk menanyakan perintah-perintah yang bersifat kabur, implisif dan beresiko dalam pembiayaan maupun resiko pertanggungjawaban hukum. Rangsanglah atasan menjawab dengan detil hal-hal tersebut, karena atasan yang baik tidak akan membebani bawahan atau menjerumuskan bawahan.

11. Jangan risau dan jangan merasa rugi bilamana kita tidak menjadi anak buah kesayangan dari atasan yang tidak baik.

12. Yakinkanlah dirimu sendiri, bahwa kini saatnya prestasi, kejujuran, ketangguhan, kecerdasan dan kesantunan mengendalikan kehidupan. Biarkan rencana TUHAN terhadap peruntunganmu berjalan, dan rasakan keterlibatan Tuhan dalam setiap tahap kehidupan kita, karena selalu ada campur tangan Tuhan dalam hirupan nafas manusia. Dan suatu kepastian bahwa Tuhan tak pernah berdusta dengan janjinya.

0 Comments:

Post a Comment



Designer: Douglas Bowman | Dimodifikasi oleh Abdul Munir Original Posting Rounders 3 Column