ISTIQOMAH - PROFESIONAL - AMANAH

Sekali Ini Saja: INTELKAM




KEBISUAN INTELEJEN

Oleh: Kompol Drs. Taufik Rohman, SH., MH. // Kasubbag Bimluh Ro Binamitra Polda Jabar // Anak seorang petani

Inti tulisan ini pernah dimuat di Koran lokal di Kalimantan Timur, sebagai hadiah buat teman sekamar ketika sama-sama mengikuti pendidikan Kejuruan di Pudik Resintel Mega Mendung Bogor, yang klipingnya di kirim pada penulis. Meskipun telah bekerja keras, teman tadi merasa hasil kerjanya tak mudah membuat pimpinannya "dermawan" memberi pujian, sebagaiman didapatkan oleh rekannya di fungsi reserse kriminal maupun lalu lintas. Tetapi katanya, DIA bangga menjadi seorang intelejen.

Sebagai polisi dengan pendidikan kejuruan analis inteljen, tapi tidak pernah dinas dalam komunitas inteljen, penulis merasa beruntung dapat menerapkan ilmu intel tidak hanya dalam menyalurkan hobby sebagai polisi tetapi sebagai frame dalam bergaul dikomunitas yang lebih luas. ANEH. Tapi harus Penulis akui, sepanjang penghayatan penulis sebagai polisi yang bergaul dengan rekan-rekan komunitas inteljen dan pernah mengikuti pendidikan kejuruan selama 2 bulan, maka penulis mengerti dan yakin bahwa “gaya bergaul yang penuh moral dan etika kebisuan” lah yang akan memberi kepuasan batin, seorang intel sejati. Silabus moral dan etika intelejen tidak terakomodasi dalam kurikulum pendidikan polisi, atau semata cognition, tetapi suatu filosofi dan keyakinan yang terserap melalui pengamatan, penghayatan dan afirmasi terhadap bukti-bukti nyata, bahwa profesi polisi itu mulia, dan ia harus bekerja dengan cara yang mulia pula, dan itu artinya bahwa cara hidup mulia adalah style and affection of life.

Membiarkan orang lain banyak bicara, karena hakekatnya semua orang senang omongannya didengarkan, dan intelejen merekam sambil mengail banyak informasi. Talk less and do more. Bukan perbuatannya tetapi sumbangan informasi intelejen yang akuratlah yang mengindikasikan eksistensinya sebagai seorang inteljen.

Dunia inteljen adalah dunia how to win friends and influence people, and than themself to do without order. Sehingga ia bekerja pada tataran ide dan gagasan, bukan tataran “konkrit” yang kasat mata. Ia bermain di tataran fenomena, kemudian membentuk suatu konsepsi dan akhirnya menuangkannya dalam strategi taktis dan teknis, sampai kepada menejemen resiko. Oleh karena itu pekerjaan intel hakekatnya adalah ekspresi kecerdasan. Teknik bergaul “orang intel” juga sangat khas dan “smart”. Ia amat pandai menerapkan konsep bagaimana “memantik” kehangatan untuk mewujudkan rasa “kita” dan menghindari konsep “kami dan mereka”, yang hanya akan menyulitkan tugas pulbaketnya ataupun daya aruhnya. (baca tulisan tentang 13 peringatan intelejen di http://polisi-sholeh.blogspot.com). Itulah kenapa kehadiran inteljen justru baru disadari manakala seorang inteljen telah meninggalkan tempat.

Dunia intlejen memang serba bisu, dan ironinya adalah suatu lapangan terbuka yang siapa saja bisa menorehkan komentar terhadapnya. Dunia intelejen tak pernah membela diri melalui kata-kata, apakah secara lisan maupun tulisan. Dunia intelejen selalu menampilkan sosok yang sangat mudah untuk disalah pahami bahkan dinistakan. Bahkan sejak jaman Orde Baru berkuasa sampai saat inipun belum pernah ada pembelaan terhadap peran intelejen. Tidak juga oleh Presiden Suharto sekalipun, yang amat diyakini kekuasaannya ditopang oleh kekuatan intelejen saat itu. Maka tidak aneh bila di kalangan intelejen, yang muncul adalah perasaan keterasingan. Tertanam kuat terhadap prinsip profesinya sehingga munculah kepilusenduan, “hilang tidak dicari, mati tidak diakui, berhasil tidak dipuji, gagal dicaci maki”.

Penulis ngeri memaknai kata-kata sendu itu, tapi sekaligus bangga, karena kata-kata itu menyiratkan keikhlasan yang luar biasa. Tapi penulis juga skeptis melihat betapa rekan-rekan di bagian reserse criminal (misalnya Tim Bom Bali) mendapat pujian dan penghargaan kenaikan pangkat serta "fasilitas" yang menurut penulis boleh dibilang “excessive”, dan membuat ciut nyali hati rekan-rekan penganut mahzab “berhasil tidak dipuji, gagal dicaci maki” dan mahzab Binkamtibmas. Tidak ada kritik apalagi protes, tetapi jelas hal itu tidak boleh diartikan sebagai legitimasi. Sekali lagi dalam bahasa intelejen kebisuan adalah jejak yang harus dimaknai.

Seorang inteljen bukanlah petarung, tetapi dia adalah yang berhasil menanam kegelisahan di dalam pikiran orang, atau berhasil menghimpun isi pikiran orang, dan memberinya jalan bagi orang-orang itu untuk dengan relahati berbuat seperti yang intelejen kehendaki. Intelejen bukanlah politikus yang ingin dikenal karena provokasinya dan ingin mewarnai lingkungannya. Bukan pula sosok preman di arena perjudian, yang berpenampilan dingin nyaris tanpa ekspresi. Intelejen minded jauh dari personofikasi intel melayu, yang serba menampilkan kekonyolan. Intelejen sejati adalah jejak dimana setiap bekas tapak kakinya adalah sub-sub factor dan factor keberhasilan dari setiap kinerja Kepolisian. Ia tak peduli dengan penghargaan, karena ia telah mendapatkan penghargaan sejak awal tugasnya, yaitu “Bangga menjadi seorang intelejen Kepolisian”.

Jadi kompetensi komunikasi yang harus dipunyai oleh seorang inteljen adalah keahlian mendengar, dari pada keahlian berbicara. Melihat yang tak nampak atau metafisis. Melihat hilir ketika beban ada dihulu. Seorang intelejen adalah seorang yang bekerja selagi orang lain tidur. Dan tetap terjaga ketika orang lain sibuk.


BEKERJA TANPA HASIL

Oleh: Kompol Drs. Taufik Rohman, SH. MH. **

Kasubbag BIMLUH Ro Binamitra Polda Jabar **

Anak seorang petani


Selama hidup di dunia, ada banyak hal yang sudah kita perbuat. Mungkin saja kita telah berbuat khilaf, salah, dan dosa, tetapi mungkin juga kita telah berbuat baik kepada sesama manusia, patuh dan taat menjalankan perintah Allah. Hari, minggu, bulan, dan tahun berganti. Kemanakah kita akan diantar oleh pergantian itu? dan apa konsekkuensi dari perbuatan kita? yang pasti bahwa perjalanan hidup akan terus berlanjut, hingga sampai pada suatu saat manusia bertemu Allah.

Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (QS. Al-Insyiqaq [84]:6)


Jalan menuju Tuhan ada yang lurus, luas terbentang, dan ada juga yang jauh, sempit, sesak bahkan bagaikan mendaki ke langit (tanpa ujung). (QS. Al-An’am [6]: 125)

Ada yang naik terengah-engah, tetapi tidak untuk dibukakan pintu-pintu rahmat Allah, seperti kemustahilan binatang unta masuk ke dalam lubang jarum, sebagai akibat kesombongannya.

Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga (seperti) unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. (QS. Al Araf [7]: 40)


Penulis memakai jas kuning dalam dialog di RCTI, antara lain dengan Andi Malarangeng, Imam Prasodjo dan Faisal Basri

Dinamika masyarakat Indonesia saat ini, nampak sedang berada pada tahapan untuk mencari bentuk. Maksud dari mencari bentuk ini adalah suatu keadaan dimana definisi-definisi dari demokratisasi, kesetaraan, kebebasan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan reformasi mengalami pergeseran dari pemahaman sebelumnya menuju pemahaman yang baru. Pergeseran pamahaman hal-hal tersebut belum akan final, sampai pada terpenuhinya angan-angan setiap orang terhadap apa yang dipahaminya sebagai demokrasi, kesetaraan, kebebasan, dan itu berarti bahwa pergeseran pemahaman tersebut akan terus terjadi, setidaknya sampai kepada situasi dimana sebagaian besar masyarakat merasa negara telah memberikan hak perlindungan dan pelayanan yang baik, yang merupakan sebagaian kewajiban negara kepada masyarakat. Sebagaian hak-hak dasar yang harus diwujudkan negara karena merupakan hak setiap masyarakat adalah bebas dari rasa takut, bebas untuk mengeluarkan pendapat, bebas untuk melakukan peribadatan sesuai keyakinan yang dipeluknya, dan bebas untuk menentukan afiliasi politiknya. Setiap tahap tertentu tuntutan hak masyarakat itu mengalami pergeseran porsi.

Demikian pula berkaitan dengan standar keamanan (hak adanya rasa aman atau bebas dari rasa takut) juga mengalami pergeseran, terlebih lagi dengan semakin meningkatnya kualitas serta kuantitas kejahatan saat ini. Keamanan dan ketertiban yang dulu diterima oleh masyarakat sebagai situasi apa adanya, sekarang menjadi tuntutan yang merupakan kewajiban negara yang bersifat publik yang harus diciptakan semaksimal mungkin dan menjadi prasayarat guna mendukung berlangsungnya kegiatan-kegiatan masyarakat lainnya, misalnya ekonomi, pendidikan, olehraga, usaha, dan lain sebagainya. Dimensi keamananpun sekarang ini tidak hanya terbatas pada ancaman terhadap keselamatan jiwa (fisik) saja, tetapi termasuk juga keamanan psikis. Aman dalam arti psikis menyangkut perasaan nyaman dan damai, jadi bukan secara fisik situasinya aman tetapi nuansanya mencekam, karena orang takut mengekspresikan aspirasinya karena berbeda ideologi dan politik dengan penguasa, atau takut ditangkap polisi, karena polisi terkooptasi oleh kekuasaan. Tuntutan adanya perasaan aman oleh masyarakat saat ini adalah menyangkut perasaan aman dalam dimensi fisik dan juga psikis, dan hal ini menjadi sebagaian tugas kepolisian untuk mewujudkannya bersama aparat pemerintah lainnya.

Terciptanya keselamatan atau rasa aman bukan hanya merupakan tugas Kepolisian saja, tetapi menjadi tugas bersama masyarakat. Dalam konsep keamanan swakarsa maka posisi polisi adalah sebagai kekuatan inti yang bertugas untuk memulihkan perasaan aman yang terganggu, sementara masyarakat berfungsi sebagai basis atau dasar perkuatan dan informasi dini dalam memelihara keamanan maupun pemulihan keamanan. Kegiatan menonjol yang diperankan dalam pengamanan swakarsa adalah polisi melakukan patroli-patroli, serta membina pengamanan-pengamanan swakarasa di lingkungan pemukiman tempat tinggal, dan industri atau kawasan. Model pengamanan swakarsa (pamswakarsa) seperti ini pada kenyataannya membuat polisi cenderung miskin berkomunikasi dan hanya melakukan patroli di daerah perkotaan dan di jalan-jalan utama saja, tetapi tidak menyentuh ke pemukiman-pemukiman, dan hanya sedikit yang melakukan penyambangan ke kawasan-kawasan industri, dan model ini tidak efektif untuk dilakukan di pedesaan ataupun wilayah-wilayah padat perumahan penduduk yang tidak teratur. Kendala lain adalah alat transportasi kepolisian yang sangat terbatas.

Model lain dari komunikasi dengan masyarakat yang dilakukan oleh Kepolisian dalam rangka pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat adalah pembentukan bintara pembina keamanan dan ketertiban masyarakat (babinkamtibmas). Peran Babinkamtibmas diimplementasikan dengan menunjuk bintara polri untuk membina keamanan dan ketertiban di desa atau kelurahan-kelurahan tertentu. Satu bintara polisi dibebani satu atau lebih kelurahan atau desa binaan dengan tidak mengabaikan tugas pokok kepolisian lainnya. Hal ini tergantung dari jumlah personil polisi di Polsek yang dapat diberdayakan sebagai babinkamtibmas dan jumlah desa yang yang menjadi wilayah Polsek tersebut. Secara ideal para Babinkamtimmas semestinya tinggal di desa binaan, dan tidak dibebani dengan tugas-tugas lainnya, tetapi hal ini sulit diwujudkan karena masalah jumlah personil polisi di tingkat Polsek belum sepenuhnya mencukupi, serta terbentur masalah tempat tinggal para babinkamtibmas. Untuk mengatasi keterbatasan jumlah personil maka dalam pembinaannya dibuatlah kualifikasi desa berdasarkan tingkat kerawanan desa. Desa dengan kerawanan tinggi merupakan desa dengan status binaan, desa yang memiliki tingkat kerawanan sedang merupakan desa dengan status sentuhan, dan desa dengan kerawanan rendah merupakan desa dengan stastus pantauan. Desa binaan memerlukan kehadiran babinkamtibmas sesering mungkin, sedangkan desa sentuhan kehadiran babinkamtibmas dijadwalkan secara intensif hanya pada saat-saat kehadiran polisi sangat diperlukan dan terhadap desa pantauan babinkamtibmas hadir secara berkala dalam rangka pemantapan terhadap situasi aman yang telah tercipta. Model "babinkamtibmas" menjadikan beban justru makin menumpuk pada bintara pembina, sementara disisi lain potensi yang sangat besar pada masyarakat hanya digunakan sebagai sumber informasi tentang police hazard. Sehingga dengan demikian pemecahan masalah kamtibmas kembali lagi kepada kepolisian. Paradigma ini harus, diubah dimana masyarakat harus diikutsertakan dalam upaya-upaya konkrit penciptaan situasi dan menyelesaikan masalah yang muncul, dengan memberikan porsi yang memang memungkinkan masyarakat berperan secara maksimal.

Pola lain yang relatif masih baru namun telah menjadi keputusan Kapolri untuk diimplementasikan dalam pelaksanaan pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat adalah community policing (perpolisian masyarakat). Perpolisian masyarakat (polmas) memiliki keunggulan dalam hal pemecahan masalah keamanan dan ketertiban yang dilakukan bersama-sama dengan masyarakat melalui forum kemitraan (musyawarah), serta tidak menjadikan masyarakat sekedar informan, tetapi bersama polisi menjadi pemeran utama pengambil setiap keputusan terhadap permasalahan yang timbul berkaitan dengan ketertiban dan keamanan masyarakat. Wujud fisik dari forum ini adalah FKPM (forum kemitraan polisi-masyarakat). Sebagai model yang baru, namun terbukti berhasil dilaksanakan secara baik oleh beberapa negara, maka perpolisian masyarakat dengan dukungan PRESIDEN RI melalui KOMPOLNAS diterapkan sebagai salah satu strategi dalam menanggulangi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Keputusan Kapolri terkait polmas adalah:

a. Surat Keputusan Kapolri No. Pol: Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
b. Surat Keputusan Kapolri No. Pol: Skep/431/VII/2006 tanggal 01 Juli 2006 tentang Pedoman Pembinaan Personel Pengemban Fungsi Perpolisian Masyarakat (Polmas).
c. Surat Keputusan Kapolri No. Pol: Skep/432/VII/2006 tanggal 01 Juli 2006 tentang Panduan Pelaksanaan Fungsi-Fungsi Operasional Polri Dengan Pendekatan Perpolisian Masyarakat (Polmas)
d. Surat Keputusan Kapolri No. Pol: Skep/433/VII/2006 tanggal 01 Juli 2006 tentang Panduan Pembentukan Dan Operasionalisasi Perpolisian Masyarakat (Polmas).


Memahami Polmas Secara Salah:
Konsep Polmas secara umum ternyata belum dipahami secara benar dan utuh, baik oleh masyarakat maupun oleh anggota kepolisian itu sendiri. Ketidaktepatan dalam memberi makna perpolisian dan memahami filosofi yang melatar belakangi lahirnya “gerakan” perpolisian masyarakat (Polmas) ini pada akhirnya menimbulkan banyak terjadi kebuntuan, bahkan penyimpangan dalam implementasinya di lapangan.

Polmas secara harfiah berarti segala hal ikhwal tentang penyelenggaraan fungsi kepolisian. Dalam hal ini yang dimaksud perpolisian tidak hanya menyangkut taktik atau teknik fungsi kepolisian yang menjadi tanggungjawab petugas kepolisian tetapi juga menyangkut posisi dan peran masyarakat dalam perpolisian itu sendiri, tanpa melanggar ketentuan yang berlaku. Karena Polmas menyangkut dua subyek penentu, yaitu polisi dan masyarakat, maka sinergitas dua subyek itu harus diatur agar dalam pelaksanaannya di lapangan saling menunjang, saling melengkapi, dan saling memperkuat. Nilai-nilai itu harus dipegang dan melandasi dalam setiap aktivitas Polmas. Namun demikian pada kenyataannya di lapangan penyimpangan-penyimpangan dalam operasional polmas banyak terjadi, dan salah satu sebabnya diindikasikan karena adanya kekeliruan dalam memahami hakekat polmas.

Terdapat beberapa anggapan yang kurang tepat atau bahkan sama sekali salah mengenai Polmas. Anggapan-anggapan yang salah mengenai Polmas adalah:

a. Polmas dianggap sebagai lembaga yang mengawasi kinerja kepolisian.

b. Polmas dianggap boleh menangani atau memutuskan tentang penyelesaian tindak pidana, meneruskan atau tidak meneruskan suatu perkara pidana ditingkatkan menjadi penyidikan.

c. Polmas dianggap sebagai organisasi bawahan kepolisian

d. Polmas dianggap organisasi yang dibiayai oleh kepolisian

e. Polmas dianggap sebagai organisasi massa atau LSM.

Kekeliruan dalam memahami hakekat Polmas akan berakibat munculnya perilaku yang menyimpang dari ketentuan para Polmas dari unsur masyarakat, misalnya:

a. Tergoda untuk berperilaku arogan

b. Tergoda untuk memeras

c. Mengatasnamakan polisi dalam perilaku menyimpang

d. Meminta uang, pakaian seragam, kartu tanda anggota dalam kegiatan polmas

e. Meminta fasilitas kepada Kepolisian dalam kegiatan Polmas.

Kekeliruan dalam memahami filosofi tentang polmas, mengakibatkan forum komunikasi polisi masyarakat (FKPM) tidak mampu memberi dukungan maksimal bagi pencapaian suatu kehidupan masyarakat yang tertib dan aman, sehingga terbentuknya FKPM-FKPM kurang memberi sumbangan yang nyata dan “hanya sebuah lembaga” tanpa target kecuali secara legal forum polmas itu ada.

Harus diingat bahwa inti dari aktivitas polmas adalah kemitraan antara polisi dengan masyarakat dan penyelesaian masalah (problem solving). Polmas harus dijadikan media untuk menjalin kemitraan, forum diskusi, atau forum kerjasama, untuk menginventarisir dan mengidentifikasi semua permasalahan sosial yang ada dan muncul dimasyarakat yang berkaiatan dengan gangguan kamtibmas, serta pada level mana polmas mengambil peran. Oleh karena itu pada tahap problem solving atau pemecahan masalah, masyarakat dalam kelompok polmas dengan didampingi oleh petugas polmas dari polsek merumuskan tindakan-tindakan yang akan diambil dalam rangka menciptakan kamtibmas di lingkungannya, termasuk masyarakat sendiri yang menanggung biaya manakala dalam pemecahan masalah itu diperlukan anggaran.

Sesungguhnya impementasi Polmas di lapangan atau tingkat peran serta masyarakat dalam pemecahan masalah-masalah social kemasyarakat, sangat tergantung dari kepedulian masyarakat itu sendiri. Petugas Polmas dari polsek atau polres hanya sekedar sebagai motivator atau dinamisator. Namun demikian keberadaan Polmas ataupun FKPM sangat membantu tugas-tugas kepolisian secara umum, maka oleh karena itu petugas polmas harus aktif agar FKPM ataupun polmas membuat karya-karya nyata atau riil demi terciptanya kamtibmas di lingkungan masyarakat.

Peluang
Masyarakat Indonesia pada umumnya masyarakat yang religius dan menjunjung tinggi nilai-nilai hidup kebersamaan, gotong royong, suka tolong menolong dan cukup bertoleransi. Karakteristik social ini sangat menguntungkan apabila dapat diarahkan bagi penciptaan keamanan dan ketertiban di masyarakat. Pos kamling atau ronda adalah bukti nyata bahwa masyarakat secara mandiri sukarela mengadakan sarana bagi petugas penjaga keamanan.

Dari sisi petugas Polmas (polisi) maka insentif atau tunjangan yang diberikan kepada petugas polmas, termasuk uang saku dan uang sebagai sarana kontak dengan masyarakat, hanya cukup menjadi pelipur lara, dan belum mampu menutup kebutuhan operasional petugas polmas, namun demikian dirasakan mampu membangkitkan tingkat motivasi dalam menjalankan peran sebagai petugas polmas. Disamping itu kesempatan petugas polmas untuk langsung bertatap muka dengan masyarakat dianggap merupakan kesempatan berharga untuk meningkatkan kemampuannya berkomunikasi, negosiasi, dan belajar tentang banyak hal di masyarakat. Masalahnya adalah konsistenkah para Kapolres dan Kapolsek memberikan semua sumber daya materiil yang telah dianggarkan untuk operasional petugas polmas dan FKPM?

Kendala Petuga Polmas (polisi)

a. Petugas Polmas masih sangat terbatas

b.Tingkat pendidikan petugas polmas rata-rata SMA, dan hal ini menjadi beban manakala petugas polmas harus berdialog dengan masyarakat yang berpendidikan lebih tinggi.

c. Wilayah cakupan kerja polmas sangat luas

d. Sarana dan prasarana kontak antara petugas polmas dengan masyarakat tidak ada, bahkan menggunakan barang milik pribadi

e. System evaluasi dan penilaian kinerja petugas polmas belum baku, dan pedoman pemberian penghargaan atas kinerja petugas polmas tidak ada, sehingga jabatan Polmas tidak menarik.

Kendala Masyarakat:

Ø Sebagaian masyarakat masih menganggap bahwa kamtibmas merupakan tanggungjawab kepolisian.

Ø Polmas dianggap cara licik kepolisian untuk menempatkan mata-mata di masyarakat, atau polmas adalah suatu organ yang diperalat oleh kepolisian

Sebagai suatu strategi maka polmas harus menempatkan posisi masyarakat (unsure polmas) sejajar dengan petugas polmas. Kesetaraan ini akan mengurangi jarak psikologis yang mungkin terjadi serta untuk memungkinkan terjadinya kesetaraan dalam berdiskusi untuk merumaskan pemecahan masalah yang dihadapi. Dalam pengertian ini masyarakat harus didorong untuk memberdayakan dirinya sendiri sebagai subyek yang menentukan dalam mengelola penciptaan lingkungan yang aman dan tertib.

Dalam pengelolaan terkandung makna bahwa masyarakat berusaha menemukan, mengidentifikasi, menganalisa dan mencari solusi pemecahan masalah yang timbul dilingkungannya. Dengan demikian maka masyarakat unsur polmas harus betul-betul mencerminkan keterwakilan masyarakat dilingkungan itu, disamping merupakan orang yang dipercaya oleh lingkungannya dalam hal penciptaan suasana kehidupan bersama yang damai dan tentram. Hal tersebut untuk mendapatkan legitimasi dan kesatuan langkah dalam setiap keputusan yang diambil.

Keberhasilan polmas akan sangat tergantung pada hal-hal yang menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nalai sosial/ kemanusiaan dan menampilkan sikap santun, saling menghargai antara polisi dengan masyarakat.

Sebagai lembaga yang paling bertanggungjawab dalam penciptaan keamanan dan ketertiban maka Kepolisian (melalui petugas polmas) harus selalu meningkatkan kualitas dirinya agar mampu menjadi sumber informasi, rujukan, saran dan nasehatnya yang memuaskan bagi upaya-upaya penciptaan keamanan lingkungan, sehingga gangguan kamtibmas di masyarakat dapat dicegah secara dini atau apabila muncul dapat segera diatasi.

Dari data yang dihimpun oleh Birobinamitra Polda Jabar, dapat kiranya diambil suatu kesimpulan bahwa sampai saat ini keberadaan polmas, masih sekedar diterawang, diraba, disalahpahami dan hanya sedikit yang betul-betul mengimplementasikan konsepnya secara benar.

;;
Designer: Douglas Bowman | Dimodifikasi oleh Abdul Munir Original Posting Rounders 3 Column