ISTIQOMAH - PROFESIONAL - AMANAH

-->

MENINGKATKAN PERAN BHABINKAMTIBMAS
(Studi Kasus Pengrusakan Pesanggrahan HTCN Sumedang)
Oleh: KOMPOL Drs. H. Taufik Rohman, SH. MH.
Kasubbag Bimluh Biro Binamitra Polda Jabar


Pengrusakan Pesanggrahan Hati Terang Cupu Negara (HTCN) milik Raden Wijawa Kusuma (RWK) di Desa Sawiru Kaler Kecamatan Surian Kabupaten Sumedang oleh LPI (Laskar Pembela Islam) Sumedang tanggal 16 April 2010, mendapatkan respon yang serius oleh Kapolda Jabar, Irjen Polisi Drs. Timur Pradopo. Kapolda memerintahkan Direktorat Intelkam dan Biro Binamitra untuk mencari informasi yang akurat dan menganalisa, kenapa pengrusakan Pesanggrahan HTCN oleh LPI tidak dapat dicegah oleh Polsek Surian dan Polres Sumedang. Seperti yang diberitakan oleh banyak media massa yang beredar di Sumedang-Jawa Barat, RWK diketahui melakukan praktek penodaan ajaran agama islam (misalnya; RWK mendalilkan bahwa kewajiban haji bagi orang yang tidak mampu keuangan cukup dilakukan dengan melakukan berhaji di padepokannya yang di design dengan simbol-simbol tempat dan ritual seperti peribadatan haji, bahwa perkawinan jamaah pengikut tidak sah dan harus diulang kembali di hadapan RWK/ mengesahkan kembali proses pernikahan), berpraktek paranormal dan perdukunan). Kasus tersebut menarik untuk dikaji dari sudut pandang Fungsi Kepolisian (FK) Pre-emtif, FK Preventif dan FK Represif, sehingga setiap pengemban fungsi operasional dapat intropeksi terhadap kinerjanya. Tetapi yang sangat menggelisahkan hati penulis sesungguhnya adalah hipotesis Kapolda Jabar, yang mengatakan bahwa, “jangan-jangan kasus ini adalah cermin dari ketidakpahaman kita dalam memahami tugas dan tanggungjawab jabatan. Entah dia seorang direktur, kapolres, kapolsek atau petugas babinkamtibmas. Kapolda bahkan secara lugas menunjuk, agar para pejabat ketika memberikan pelatihan jangan hanya berkutat pada teori, tetapi lebih bagaimana pelaksaan konkrit dan penerapannya di lapangan. Tulisan ringkas ini mencoba menjawab Hipotesis (bagi penulis ini adalah sebuah tantangan) Kapolda Jabar, dalam perspektif Kepolisian Pre-emtif. Karena sifatnya yang ringkas, maka penulis tidak mungkin mengkontruksi ”rasio legisnya” secara detil, dan hal ini bisa saja mengundang diskusi lebih intens.
Hakekatnya, tanggungjawab seorang polisi berasal dari tiga sumber, yaitu Tugas pokok fungsi/ Tupoksi (tugas Negara), tugas yang di berikan oleh pimpinan (kebijakan) dan tugas yang lahir dari tuntutan situasional (dinamika kehidupan dimasyarakat). Menurut teori kontrak sosial, aman dan damai adalah hak setiap orang, yang harus dipenuhi oleh Kepolisian, sehingga menurut logika teori ini, polisi adalah salah satu pihak yang “boleh dan bisa” dipersalahkan apabila terjadi rasa takut/tidak aman dimasyarakat, misalnya kasus pengruskan HTCN. Untuk itulah kemudian dalam manajemen Kepolisian dikenal pembagian tugas dalam kelompok FK Pre-emtif, Preventif dan Represif, yang dijalankan oleh Fungsi-fungsi Operasional Kepolisian, yang tujuannya agar kejahatan dapat dikenali dan dikendalikan sejak dini.
Dari prespektif Kepolisian pre-emtif yang salah satu pengembannya adalah fungsi binamitra (dan tentu saja Kepolisian pre-emtif juga diemban direktorat Intelkam), maka kajian terhadap kasus pengrusakan pesanggrahan HTCN dapat di telusuri dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh bhabin sebelum kasus tersebut terjadi, yang dapat dijadikan indicator bagi kegiatan Kepolisian pre-emtif oleh bhabin.
1. Pola Penugasan Bhabinkamtibmas
Bhabinkamtibmas yang bertugas membina Desa Sawiru kaler ternyata membina empat (4) desa sekaligus meraangkap bataud Polsek Surian. Beban tugas Bhabin tersebut melebihi batas kewajaran. Penugasan Bhabin sebaiknya menggunakan pola 1:1. Artinya satu petugas bhabin bertanggungjawab terhadap 1 desa binaan. Kekurangan petugas bhabin seharusnya dapat disiasati dengan bantuan kekuatan operasional dari fungsi lain (misalnya bintara Lantas atau Reskrim)., dengan tetap memperhatikan penunjukan desa binaan itu kepada efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tugas pokoknya. Terhadap komunitas-komunitas tertentu, misalnya LSM atau ormas dapat didayakan bhabin yang berpangkat inspektur. Kreativitas, inovasi dan improvisasi dalam menejemen operasional seperti ini yang seharus berani untuk dijelajahi oleh pejabat-pejabat kepolisian.
2. Keberadaaan Bhabinkamtibmas ketika kejadian
Kejadian terjadi pada hari minggu, dimana bhabinkamtibmas tidak melakukan tugas dan berada di rumah pribadinya yang berjarak + 25 km dari lokasi pesanggrahan HTCN. Dalam perspektif kepolisian pre-emtif yang menjadi masalah adalah “bukan terjadinya pengrusakan” tetapi bahwa ternyata petugas bhabin tidak mengetahui tanda-tanda akan terjadinya penyerangan oleh LPI. Terdapat aspek yang menarik untuk didiskusikan terhadap persinggungan pertanggungjawaban antara fungsi intelejen dangan fungsi binamitra pada kasus ini, yaitu bahwa ternyata perencanaan penyerangan oleh LPI terhadap pesanggrahan HTCN tersebut telah dirapatkan/ dipersiapkan 3 hari sebelumnya di sebuah masjid di Kota Sumedang yang jaraknya + 40 km dari lokasi pesanggrahan HTCN, namun hal ini tidak tercium oleh kegiatan fungsi intelejen Polres Sumedang (vide laporan). Bisa saja hal ini menjadi dalih oleh petugas bhabin untuk membela diri bahwa itu bukan kesalahannya, karena rencana dan pelaku penyerangan bukan berasal dari desa binaannya.
3. Kemampuan mengolah informasi dan tindak lanjut
Pemberitahuan atau ancaman bahwa suatu saat akan dilakukan pengrusakan terhadap Pesanggrahan HTCN oleh LPI telah di ketahui dua bulan sebelumnya melkalui telpon kepada Camat Surian. Kegiatan yang dilakukan oleh bhabin adalah melaporkan hal tersebut kepada Kapolsek yang akhirnya melahirkan saran dan pertanyaan dari Muspika kepada Bupati untuk menindaklanjuti dengan segara tentang kepastian hukum bagi penghentian praktik “paranormal” oleh RWK. Kegiatan kepolisian pre-emtif yang seharusnya dilakukan bukan Cuma mengingatkan kepada RWK bahwa telah terjadi ancaman, tetapi seharusnya juga ditindaklanjuti dengan mendatangi atau mengundang pihak pengancam untuk dilakukan dialog damai dan mencari solusi untuk meniadakan ancaman kriminalitas. Yang terakhir ini ternyata tidak dilakukan baik oleh bhabin/ polsek, maupun oleh fungsi intelejen Polres Sumedang. Ketidakmampuan mengolah informasi dan memetakan sebagai ancaman yang berkriteria atau bersifat eskalatif ataupun eksplosif inilah yang merupakan kegagalan dari kegiatan intelejen.
4. Target kontak person
Bagi petugas bhabin, kontak person haruslah sebanyak-banyaknya. Semakin banyak kontak persan yang dapat dirangkul, menunjukkan kemampuannya bhabin dalam melakukan komunikasi efektif. Bukti dari keberhasilan komunikasi efektif bukanlah kegiatan banyak omong tetapi, tetapi bagaimana para target kontak person tersebut bersedia membantu menjadi mata dan telinga bhabin. Bhabin desa Sawiru Kaler tenyata hanya mampu mendapkan target kontak person 6 orang, dimana salah satu dari 6 orang tersebut ternyata adalah pamong desa, Si “pemberitahu” tentang kejadian tersebut, yang secara kelembagaan memang mudah untuk dirangkul menjadi mitra bhabin. Memelihara hubungan dengan kontak person juga harus dilakukan secara rutin atau periodik oleh bhabin, hal tersebut untuk menumbuhkan keterikatan moral. Secara menejemen pengendalian operasional bhabin maka jumlah kontak person dan jumlah kunjungan dapat dijadikan salah satu indiktor keberhasilan tugas-tugas bhabin.
5. Memilih kontak person
Memilih kontak person seharusnya bukan yang berasal dari kalangan pamong desa saja, karena tentu saja, mereka akan terikat secara moral untuk membina hubungan baik dengan kepolisian. Memilih target kontak person seharusnya adalah mereka yang menjadi simpul atau tokoh dalam suatu komunitas masyarakat, bersedia bekerjasama dan mempunyai kemampuan melihat masalah secara jernih, agar berita yang disampaikan kepada bhabin dapat dijamin keakuratannya. Secara umum pemahaman memilih target kontak person itu belum banyak mendapat perhatian, termasuk bhabin desa Sawiru Kaler.
6. Alat/ sarana komunikasi petugas bhabinkamtibmas.
Alat komunikasi bhabin Sawiru Kaler hanyalah HP pribadi. Ini tentu bukan kondisi yang ideal untuk mencapai kesuksesan dalam tugas-tugas bhabin. Tetapi inilah kondisi riil yang belum juga mampu diatasi oleh Pemerintah Indonesia (Mabes Polri).
7. Kontak person yang memiliki alat/sarana komunikasi:
Salah satu alas an untuk memilih seseorang menjadi target kontak person adalah kecukupan alat komunikasi. Hal ini dimaksudkan untuk mengatasi kendala jarak dan saat-saat dimana bhabin tidak berada di desa binaan. Dari 6 kontak person yang dimiliki oleh bhabin Desa Sawiru Kaler ternyata yang memiliki alat komunikasi hanya 2 orang.
8. Pemberian konsesi, tatali batin/ tatali asih
Untuk mengikat secara moral kontak persen dengan kepolisian atau bhabin, maka seharusnya juga ditunjang dengan pemberian konsesi atau talali batin/ tatali asih, yang bentuknya bisa bermacam-macam; bisa pemberian surat penghargaan, benda-benda atau cendera mata, atau kalau memungkinkan pemberian pulsa sebagai pengganti biaya informasi. Konsesi juga dimungkinkan melalui bentuk jalinan persaudaraan, kegiatan bersama (misalanya olahraga bersama), ataupun ikut membantu kegiatan sosial masyarakat, misalnya pengajian. Kekuatan ikatan ini tidak banyak yang menyadarinya sebagai ”magis” yang menguntungkan.
9. Dukungan operasional bhabinkamtibmas
Dukungan operasional sangat tidak memungkinkan bagi bhabin dalam menjalankan tugas seoptimal mungkin. Honor atau tunjangan khusus yang bersumber dari Negara sebesar Rp.100.000,- hanya berfungsi sebagai stimulant, yang sama sekali tidak mencerminkan beban berat yang harus diemban bhabin. Itupun tidak semua bhabin mendapatkannya. Oleh karena itu sudah seharusnya seorang Kapolres sampai pimpinan Polri paling tinggi mengambil langkah yang bersifat solutif.
Polres Purwakarta adalah satu contoh kepedulian terhadap bhabin, walaupun apa yang dilakukannya tidak menjawab atau tidak mengatasi semua permasalahan. Polres Purwakarta telah mampu meyakinkan PEMDA Purwakarta untuk ikut serta mendukung pembiayaan dan memberikan dana stimulant yang penulis sebut di atas, dan memasukkannya dalam APBD Kabupaten Purwakarta. Hal ini patut diikuti oleh Kapolres yang lain.
10. Kemampuan membangun kemitraan
Selain kemampuan menyelesaikan masalah, maka kemampuan membangun kemitraan adalah kemampuan tertinggi seorang bhabinkamtibmas. Banyak modal yang harus dimiliki oleh seorang bhabin membangun dan memlihara kemitraan dengan masyarakat, dan modal itu tidak hanya masalah kompetensi pribadi; misalnya dapat dipercaya, ramah, komunikasi dan sebagainya, tetapi juga bersumber darri citra kepolisian secara umum. Itulah posisi bhabin di depan khalayak yang sering berada pada posisi “beban psikologis”, dimana bhabin mengajak masyarakat kepada kebaikan, ketertiban, keadilan, dan kepatuhan hukum, sementara disisi lain beberapa oknum kepolisian terus mencoreng muka didahi sendiri. Tetapi nasehat penulis kepada bhabin, “teruslah kebekerja dengan baik dan benar”, karena masyarakat tentu akan mampu memilah mana polisi yang baik dan mana yang buruk perilakunya.
11. Pemberdayaan FKPM
Pada kasus pengrusakan pesanggrahan HTCN, ternyata bhabin tidak mampu mendinamisir peran FKPM, walaupun FKPM di desa Sawiru Kaler tersebut telah terbentuk. FKPM Ini dapat ditelusuri kembali motivasi awal kalahirannya, apakah sebagai wujud kesadaran untuk turut serta menciptakan kehidupan masyarakat yang tertib, aman dan damai, ataukah hanya sebagai wujud dari formalitas perintah pembentukan FKPM. Inilah yang harus dievaluasi kembali oleh Biro Binamitra, bahwa bekerja bukanlah untuk memenuhi pelaporan yang hendak memuaskan pimpinan yang akhirnya menjebak diri pada safat formalitas, tetapi untuk sebuah kehormatan dan kebanggaan, karena ingin mewujudkan substansi yang dipahaminya.
12. Sistem administrasi dan pelaporan
Sistem administrasi dan pelaporan kegiatan dimaksudkan agar, pimpinan bhabin (kapolsek, kabag binamitra ataupun kapolres dan kapolda) mampu mengevalusi kegiatan bhabin, dan memberikan upaya-upaya peningkatannya. Keberhasilan kegiatan kepolisian pre-emtif memang tidak serta merta bahwa di masyarakat tidak adalagi kejahatan, tetapi setidaknya akan menjadikan setiap polisi tahu apa yang menjadi kewajiban kepolisian,
Itulah analisa kasus pengrusakan pesanggrahan HTCN Kabupaten Sumedang dalam perspektif kepolisian pre-emtif, dan sekalian upaya-upaya solutif dalam peningkatan peran bhabinkamtibmas. Semoga bermanfaat.

0 Comments:

Post a Comment



Designer: Douglas Bowman | Dimodifikasi oleh Abdul Munir Original Posting Rounders 3 Column