ISTIQOMAH - PROFESIONAL - AMANAH

Oleh: Taufik Rohman, DRS. SH. MH.
Pamen Polri Polda Jawa Barat

KORUPSI MENARIK DIBICARAKAN KARENA:

  1. Bersifat kriminogen, sekaligus viktimogen
  2. Hakekatnya dari maksud dan tujuannya adalah melawan kewajiban
  3. Timbulkan diskriminasi: menilai seseorang berdasarkan nilai uang, jadi sejak awal sudah memiliki muatan ketidakadilan
  4. Penghianatan terhadap amanat publik
  5. Korupsi merupakan ”natural wrongs”, atau hal yang salah sejak awalnya, maka pasti bertentangan dengan nurani

KORUPSI: Bribe (Inggris), :Briba (Latin): a piece of bread given to begger, atau Alms (sedekah, sepotong roti yang diberikan kepada pengemis), :blackmail (suap), atau :extortion (pemerasan).

KORUPSI bermetamorfose menjadi: hadiah, honorarium, komisi, biaya konsultasi, tips, uang kehormatan, biaya transaksi, biaya administrasi, dan sebagainya. SI penerima dibuat merasa berhutang secara psikologis, dan akhirnya si penerima membalas imbalan dengan melakukan seperti yang dimaui oleh si pemberi.

Korupsi --> Dari Minum Kopi Bersama Menuju Fee
Korupsi --> Dari Biaya Administrasi Menuju Travel Cek
Korupsi --> Dari Hadiah Menuju Upeti
Korupsi --> Dari Honor Dan Jasa Menuju Porsi Jabatan
Kurupsi --> Dari Uang pelicin Menuju Suap dan Pemerasan
Korupsi --> Dari Mark Up Menuju Perampokan

KORUPSI:
Biasanya modus dari korupsi adalah menciptakan hambatan dan memperlama proses pelayanan, serta menciptakan situasi dan kondisi yang koruptif .

NILAI DAN MORALITAS:
Akal budi, norma, iman, agama dan Tuhan menjadi landasan bahwa moralitas memilki ”SESUATU”. Sesuatu yang pada dasarnya berasal ”DARI LUAR” manusia. Manusia mendapatkan norma, iman, agama, dan lain sebagainya bukan dari fungsi dirinya sendiri. Dalam moralitas, agama, budaya dan nilai-nilai ”lokal”, sesuatu itu ditempatkan sebagai penentu kebenaran. Nilai, Kaidah dan Asas (NKA) adalah penentu kebenaran yang bersifat abstrak, selanjutnya dalam tataran kenegaraan dan pemerintahan, NKA tersebut kemudian harus tersenyawakan dalam Undang-Undang (UU). Tetapi tidak semua produk/substansi UU/hukum mengandung atau dijiwai moralitas, demikian pula dalam implementasi hukum/UU tersebut sangat tergantung dari akhlak dan kompetensi pelaku/ praksis hukum.

SUMBER MORALITAS:
1. Agama
2. Kesusilaan
3. Kesopanan
4. Hukum

DALAM PANDANGAN PSIKOLOGIS, manusia adalah MAHLUK YANG BERHASRAT, dan BUKAN MAHLUK YANG BERMORAL. Hasrat ada dan eksis dalam detak jantung peradapan manusia. Sedangkan MORAL atau MORALITAS adalah sebuah kutub untuk mengendalikan hasrat manusia, berfungsi untuk menciptakan keseimbangan sebagai ”manusia”.

DALAM PANDANGAN ISLAM, Manusia adalah mahluk yang diciptakan dalam sebaik-baik bentuk, yaitu dengan sebutan ahsani taqwim (hal ini mengisyaratkan kondisi awal yg disebut sebagai potensi, QS At-Tin: 4-6). Untuk mewujudkan potensi tersebut (aktualisasi diri) maka manusia diberinya kebebasan (hasrat). Kebebasan manusia itulah yang melahirkan suatu tanggungjawab. Orang yang selalu memenuhi hidupnya dengan menuruti hasrat yang buruk maka ia akan mempertanggungjawabkan pilihan hidupnya itu kepada Tuhannya dan masyarakat. Namun, karena sejak kelahirannya manusia itu dibekali dengan roh ketaqwaan (ahsani taqwim), maka orang yang paling pertama kali merasakan derita akibat dari pemuasan hasratnya yang buruk itu adalah dirinya sendiri. Ketika seseorang melanggar moralitas, maka ke-ahsani taqwim-annya memberinya tanda, yaitu ”rasa” gelisah.

HUKUM YANG BERMORAL
Quid leges sine moribus (Moral merupakan bagian vital dari hukum), oleh karena itu hukum tidak akan memiliki arti kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Hukum yang terlepas dari moral tak akan mampu mewujudkan keadilan. Karena sifatnya yang statis maka hukum sangat tergantung pada orang atau subjek yang menegakkan. Jika subjek penegak hukumnya berpegang teguh pada prinsip moral, maka hukumpun akan hidup sebagai benteng perlindungan yang dapat memberi rasa bagi keadilan. Dan sebaliknya jika dilepaskan dari konteks moral, maka hukum dapat menjadi predator keadilan tanpa batas. Oleh sebab itu, problem hukum memang tidak terletak pada materi hukumnya saja, tetapi juga tergantung dari kualitas moral manusia yang menegakkannya.

Dalam filsafat hukum, moralitas termuat dalam dua hal:
1. Esensi hukumnya; Mengandung nilai moral atau tidak, atau IUSTITIA/ KEADILAN, dan VERITAS/ KEBENARAN, (Iustitia et verites)
2. Perilaku praksis berhukum; --> aparat hukum di tuntut untuk mengahayati dan mengimplementasikan NILAI-NILAI ETIS dalam dirinya sendiri. Jadi aparat hukum menjadi cermin moralitas hukum di tengah masyarakat melalui perilakunya.

PARADOKS BERHUKUM DAN MORALITAS
Ilustrasi. Seorang pejabat publik telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Kemudian masyarakat menuntutnya mundur, tetapi pejabat tersebut tidak bersedia mundur, dengan berdalih bahwa proses hukum masih berlangsung dan vonis hakim belum jatuh, ATAU, vonis hakim belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan dalih menjunjung tinggi asas legalitas atau asas presumtion of innocent serta HAM, sering kali seorang pejabat tidak bersedia mengundurkan diri meskipun legitimasi pejabat tersebut telah sampai dititk nol. Dengan dalih menghormati hukum, maka DIA telah berbuat/ bersikap tidak bermoral. INILAH PARADOKS yang seharusnya tidak boleh terjadi, karena Quid leges sine moribus.

0 Comments:

Post a Comment



Designer: Douglas Bowman | Dimodifikasi oleh Abdul Munir Original Posting Rounders 3 Column