ISTIQOMAH - PROFESIONAL - AMANAH

OLEH: AKBP Taufik Rohman, Drs., SH., MH.

(Tulisan ini pernah dimuat di harian Pikiran Rakyat, 16 Desember 2011)
Ketika mengawali Jabatan sebagai Kapolda Jawa Barat, Irjen Pol Drs. Putut Eko Bayuseno, SH., berkeliling wilayah untuk mengetahui kondisi riil masyarakat Jawa Barat, agar bisa mengetahui secara detil aspek asta gatra Jawa Barat, yang berkaitan dengan aspek keamanan dan ketertiban. Oleh-oleh lainnya dari kunjungannya tersebut ternyata Kapolda melihat suatu ironi dunia pendidikan di Indonesia, yang telah disadari sebagai bidang pembangunan yang mengandung muatan investasi masa depan bangsa. Pendidikan yang dinilai sangat penting, tetapi banyak dijumpai ruang kelas belajar atau gedung sekolah yang tidak layak pakai. Inilah ironi dunia pendidikan di Indonesia, yang kemudian menginspirasi Irjen Pol Putut Eko Bayuseno, untuk bagaimana Polda Jabar dapat turut “sedikit” membantu mengatasi ironi dunia pendidikan itu; salah satunya adalah menerobos peluang tanggungjawab sosial perusahaan (CSR/ Corporate Social Responsibility).
Keberlangungan suatu perusahaan sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai lingkungan eksternalnya. Pada keduanya terdapat hubungan resiprokal yang seharusnya saling menguntungkan. Kontribusi serta harmonisnya hubungan perusahaan dengan masyarakat akan ikut menentukan keberhasilan pembangunan bangsa. Karena perusahaan orientasi utamanya adalah profit/ keuntungan financial, maka kontribusi yang diberikan oleh perusahaan kepada masyarakat ataupun bangsa juga bersumber dari penyisihan keuntungan tersebut.
Awalnya mungkin saja bahwa kontribusi perusahaan ini adalah wujud dari semangat filantropik (kedermawanan), terutama ditengah tekanan masyarakat yang membutuhkan bantuan sosial karena tekanan akan kebutuhan ekonomi yang makin berat. Atau juga bagian dari karitas perusahaan, agar produk perusahaan menjadi dikenali masyarakat. Kontribusi tersebut bisa saja juga mengalami pergeseran motif yaitu menjadi corporate citizenship, yaitu motif rekonsiliasi dengan keinginan terciptanya rasa aman dan ketertiban sosial. Pada tahap inipun paham tentang tanggungjawab sosial perusahaan belum sebagaimana paham tentang kontibusi perusahaan seperti dikehendaki menurut peraturan perundang-undangan yang muncul kemudian.
Paham tanggungjawab sosial perusahaan saat ini berawal dari ide yang mewajibkan kepada pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya selaras dengan nilai-nilai dan tujuan yang hendak dicapai masyarakat di tempat perusahaan itu beroperasi. Pencetus ide ini, Howard R Bowel, berupaya meyakinkan bahwa perusahaan perlu memiliki visi yang melampaui sekedar kinerja financial perusahaan, yaitu agar perusahaan juga mampu mewujudkan corporate social responsibility (CSR) /tanggungjawab sosial perusahaan. Visi Bowen ini kemudian mendapat appreciate dan pengakuan publik dan kalangan akademisi, sehingga menginspirasi kebijakan pemerintahan, bahkan telah dirumuskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Ide CRS Bowen ini tidak hanya sekedar pada meningkatkan kualitas financial (profit) perusahaan sekalian dengan karyawannya, namun juga peningkatan kualitas masyarakat/ komunitas sekitar (people), serta lingkungan hidup (planet) atau 3P (prifit, people and planet), yang dilaksanakan sesuai ketentuan (provision), profesional (professional) dan secara berkelanjutan (sustainable), atu 2PS.
CSR Dalam Perundang-Undangan di Indonesia.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, tanggungjawab sosial perusahaan, setidaknya terdapat pada dua UU, yaitu UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) dan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal 74 UU PT menyebutkan bahwa setiap perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (corporate social responsibility/ CSR).
Aturan lebih tegas sebenarnya juga sudah ada di Pasal 15 huruf b UU PM, disebutkan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Jika tidak, maka dapat dikenai sanksi mulai dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal, atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal (pasal 34 ayat (1) UU PM).
Pokok-pokok pikiran tentang CSR mengkontruksi pemahaman bahwa, tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Tangung jawab sosial dan lingkungan juga harus dilihat sebagai komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya.
Dengan demikian maka CSR bukan lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat voluntary, tetapi harus dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena disertai dengan sanksi. Penanam modal dalam negeri maupun oleh pihak asing tidak dibenarkan hanya untuk mendapatkan keuntungan semata-mata dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan pihak lain atau setidaknya memberi dampak atau pengaruh lanjutan yang tidak selalu menguntungkan pada pihak-pihak terkait, oleh karena itu perusahaan harus tunduk dan bersedia mentaati ketentuan CSR sebagai kewajiban hukum jika ingin menanamkan modalnya di Indonesia. CSR dalam konteks penanaman modal juga bisa dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi kesan praktek bisnis yang tidak etis, yaitu tidak hirau terhadap keadaan sosial masyarakat sekelilingnya yang membutuhkan bantuan, sementara perusahan mendapatkan keuntungan financial dari aktivitas perusahaannya. Tentu saja pelaksanaan CSR oleh perusahaan (do good) pada akhirnya akan memberi kesan yang baik (to look good) masyarakat kepada perusahaan tersebut.
Semangat UU PM adalah memberikan jaminan kepada seluruh investor, baik asing maupun lokal, berdasarkan asas kepastian hukum, perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara perusahaan, keterbukaan, akuntabilitas, kebersamaan, pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, kemandirian, keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional
Komitmen terhadap CSR dapat diberdayakan secara bersama-sama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan menciptakan iklim investasi yang baik serta untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Wujud dan implementasi dari CSR adalah menyisihkan sebagaian keuntungan perusahaan untuk membantu perbaikan lingkungan, sarana prasarana kemasyarakatan, pemberdayaan atau permodalan pada sektor kehidupan masyarakat yang memang harus dibantu. Teknis penyaluran dari penyisihan sebagian keuntungan itu dapat disalurkan melalui pemerintah, lembaga tertentu (misalnya yayasan, LSM, organisasi), maupun oleh perusahaan itu sendiri., baik dalam wujud permodalan, proyek maupun bantuan logistik.
Model atau pola dari penerapan CSR yang umumnya diterapkan di Indonesia adalah:
1. CSR dilaksanakan langsung oleh perusahaan, tanpa mengunakan perantara.
2. CSR disalurkan kepada yayasan atau Organisasi kemasyarakatan, sebagai pihak penerima maupun sebagai perantara. Model ini mengharuskan pihak penerima atau perantara mengajukan proposal kegiatan yang telah mendapat rekomendasi oleh pemerintahan atau dinas resmi di wilayahnya yang perlu ditunjang oleh pendanaan CSR oleh perusahaan.
3. Implementasi dari CSR dilaksanakan melalui kemitraan atau bekerjasama dengan pihak lain, misalnya instransi pemerintah, perguruan tinggi, LSM, atau lembaga lain yang berkomitmen mengelola maupun melaksanakan kegiatan sosial.
4. Beberapa perusahaan bergabung dalam sebuah konsorsium untuk bersama-sama menjalankan CSR.
Potensi dari CSR yang sangat besar tentu saja membutuhkan pengelolaan atau manejemen yang mengikuti prinsip-prinsip; fairness, transparency, accountability, dan responsibility. Dengan demikian sasaran dari penyaluran CSR pun tidak hanya berbasis community local (yaitu penduduk lokal sekitar perusahaan dan lingkungan sekitar), tetapi bergeser kepada pengelolaan berbasis empowerment dan sustainable yang pengelolaannya lebih tepat dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Kenapa Harus Polisi (Polda Jabar)?
Persepsi masyarakat ketika menyebut operasional Kepolisian, maka yang terbayang pertama kali di benak masyarakat adalah polisi melakukan penegakan hukum, atau polisi tengah menjalankan aktivitas pengamanan. Persepsi masyarakat tersebut terbentuk barangkali melihat Kepolisian lebih menonjol atau menonjolkan peran-peran tersebut. Persepsi masyarakat terhadap polisi punya relevansi dengan sejumlah interaktif antar keduanya yang kemudian dihayati masyarakat sebagai cara berfikir, cara bersikap dan cara bertindak khas kepolisian. Maka tidak terlalu keliru apabila kesan masyarakat terhadap polisi adalah sosok yang lebih akrab dengan tugas-tugas yang menampilkan sikap kaku, cenderung kepada kekerasan dan belum mampu diandalkan sebagai pelabuhan terakhir bagi masyarakat untuk menaruh harapan hadirnya rasa aman dan keadilan. Jadi meskipun Kepolisian saat ini sudah banyak mengalami perubahan paradigma, tetapi “polisi hari ini” masih mengalami penghindaran atau penolakan dalam upaya membangun kemitraan dengan masyarakat. Maka barangkali bibit kendala itu sesungguhnya adalah “faktor bawaan”, karena sejak awal masyarakat memiliki sikap curiga dan prasangka serta bepersepsi bahwa polisi “belum menjadi sahabat yang baik”. Tentu saja keadaan itu hasil dari proses-proses interaktif yang terjadi selama ini antara polisi dan masyarakat.
Merenungi latar kendala di atas maka Irjen Pol Drs. Putut Eko Bayuseno, SH., menyimpulkan bahwa harus ada perubahan penonjolan dalam strategi kepolisian dalam membangun kemitraan masyarakat, yaitu mengambil prioritas operasional yang berbasis pada penyelesaian masalah-masalah kemasyarakatan yang bersifat mendesak, namun tetap mempunyai relevansi yang signifikan dengan upaya menekan dan mengurangi munculnya ganguan kamtibmas. Setelah melakukan pengumpulan data dan mendapatkan informasi yang cukup, maka Kapolda Jabar Irjen Pol Drs. Putut Eko Bayuseno, SH., memilah dan akhirnya memilih proyek renovasi kelas atau sekolah SD/SMP, sebagai program pertama yang akan dicarikan solusinya.
Pemilihan program renovasi kelas atau sekolah SD/SMP ini, mendasarkan pada pertimbangan dan strategi kepolisian yang berorientasi pada penyelesaian masalah-masalah sosial sebagai berikut;
1. Besarnya Jumlah SD/SMP yang rusak berat di Jawa Barat saat ini, yaitu 3843 sekolah (data tersebut bersumber dari pengamatan langsung para bhabinkamtibmas yang tersebar diseluruh penjuru Jawa Barat dengan data pembanding dari dinas pendidikan di kota/ kabupaten di Jawa Barat).
2. Menunjang program program pemerintah tentang wajib belajar 9 tahun.
3. Berkaitan dengan sesuatu yang sangat penting dan mendasar, yaitu pendidikan dan pembentukan karakter generasi bangsa
4. Menjadi kebutuhan banyak orang dan masyarakat
5. Membuka peluang bagi terjalinnya interaksi yang lebih intensif antara pihak kepolisian dengan dunia pendidikan (dinas, guru, siswa, dan karyawan sekolah), orang tua siswa, komite sekolah dan masyarakat sekitar. Dengan terjalinnya interaksi maka memungkinnya terbentuknya jalinan kemitraan polisi dengan masyarakat yang jauh lebih konstruktif.
6. Adanya peluang bagi turut sertanya pihak lain (misalnya pengusaha) untuk bersama-sama mengatasi masalah-masalah tersebut di atas sebagai pendukung dana, bantuan materiil ataupun tenaga, dimana pihak kepolisian bekemampuan sebagai pemrakarsa atau pionirnya.
Kebijakan Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Drs. Putut Eko Bayuseno, SH., mengajak para pengusaha/ perusahaan untuk membangun atau merenovasi bangunan SD/ SMP yang rusak dan mendesak, adalah kehendak mewujudkan kemitraan disatu sisi, dan disisi lain mengingatkan kepada pengusaha bahwa perusahaan mempunyai kewajiban sebagaimana diamanatkan UU untuk turut serta menciptakan hubungan yang serasi/ hamonis dan kondusif dengan masyarakat sekitarnya, membantu dalam mewujudkan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan lingkungan, yang pada ujung-ujungnya juga bermanfaat pula bagi keberlangsungan usaha dari perusahaan itu sendiri. Nilai dari gagasan Kapolda ini adalah panggilan moralitas sebagai pejabat Negara yang hirau terhadap kondisi riil dunia pendidikan di Jawa Barat.
Ajakan Kapolda oleh pihak perusahaan tentu tidak hanya diterima sebagai ber-“fastabikhul khoirat” yaitu berlomba-lomba menanam kebaikan, tetapi juga adalah sebuah pengingat bahwa melalaikan kewajiban perusahaan berkaitan dengan tanggungjawab sosial dan lingkungan (CSR) sebagaimana dikehendaki oleh UU merupakan “kelalaian” yang mempunyai sanksi. Dari perspektif pemeliharaan kamtibmas (keamanan dan ketertibam masyarakat) maka kemitraan Polda Jabar dengan perusahaan dalam penyaluran CSR memiliki muatan menciptakan kondisifitas kehidupan bermasyarakat, setidaknya mengurangi faktor-faktor kriminogen dan police hazard, dan terciptanya hubungan yang harmonis antara perusahaan dan masyarakat local.
Sejak awal Kapolda sudah memberikan frame yang dimaksudkan untuk mengantisipasi adanya kemungkinan bahwa ajakan Kapolda akan ditafsiri secara keliru atau negatif oleh pihak lain atau perusahaan. Frame tersebut, yaitu:
1. Bahwa besaran dana CSR yang akan digunakan bersifat sukarela dan diberikan oleh perusahan dengan itikad baik dan sadar untuk turut serta membantu permasalahan dunia pendidikan.
2. Pihak kepolisian melibatkan pihak perusahaan maupun pihak sekolah dalam menentukan prioritas sasaran, hal ini tidak hanya berkaitan dengan pengelolaan CSR tetapi juga dengan memperhatikan kebutuhan yang bersifat mendesak.
3. Harus disadari bahwa dana yang disalurkan pasti tidak akan mampu memenuhi harapan maksimal dari pihak sekolah maupun masyarakat, oleh karena itu kepolisian mengajak pihak komite sekolah ataupun pihak lain yang bersedia ikut serta mendanai renovasi gedung kelas atau sekolah, atau memberikan dukungan material bangunan yang dibutuhkan serta bersama-sama turut serta dalam pengawasan rehab atau pembangunan.
4. Bahwa pengelolaan CSR maupun bantuan dana atau materiil dari masyarakat harus dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan prinsip-prinsip menejemen yang baik.
Kebijakan Kapolda Jabar berkaitan dengan mengatasi buruknya bangunan fisik kelas belajar sekolah dengan melakukan pembangunan atau renovasi ini sampi saat tulisan ini dikirim telah akan diselesaikan 977 kelas, yang dilaksanakan oleh para Kapolres di Jajaran Polda Jawa Barat (data tersebut bersumber dari pengamatan langsung para bhabinkamtibmas yang tersebar diseluruh penjuru Jawa Barat). Pemilihan kelas atau sekolah mana yang terlebih dulu di renovasi adalah berdasarkan kesiapan pendanaan CSR dan prioritas kebutuhan berdasarkan kebutuhan yang mendesak. Bahkan atas kepeduliannya tersebut Kapolda Jabar pada tanggal 3 November 2011, telah mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) atas perannya sebagai pemrakarsa renovasi sekolah terbanyak dalam waktu satu (1) bulan, yaitu 32 sekolah.
Atas kebijakan Kapolda Jabar Irjen Pol Drs. Putet Eko Bayuseno, SH., dalam membantu mengatasi “ironi dunia pendidikan di Indonesia”, dengan wujudnya, yaitu merenovasi atau membangun kelas belajar yang tidak layak ini, penulis memberinya banner sebagai, Terobosan Kapolda Jabar Dalam Memanfaatkan Celah Moralitas Corporate Social Responsibilitry Untuk Dunia Pendidikan Di Jawa Barat. (Penulis: Taufik Rohman /anak seorang petani, dan dibesarkan di pedesaan)

0 Comments:

Post a Comment



Designer: Douglas Bowman | Dimodifikasi oleh Abdul Munir Original Posting Rounders 3 Column