ISTIQOMAH - PROFESIONAL - AMANAH


TAKSONOMI KEKERASAN KOLEKTIF dan

TINDAKAN POLISI

Oleh: Kompol Drs. Taufik Rohman, SH. MH.

Anak seorang petani, dan saat ini dinas di Polda Jabar

Istilah taksonomi diambil dari istilah dalam ilmu biologi yang artinya klasifikasi. Kata taksonomi pada judul tulisan ini dipilih untuk memudahkan pemahaman, bagaimana seharusnya polisi seharusnya bereaksi menghadapi berbagai jenis tindak kekerasan yang dilakukan oleh berbagai unsur masyarakat dengan beragam motivasi. Tetapi hanya ada satu pilihan bahwa kekerasan harus dihentikan karena sangat merugikan kepentingan masyarakat. Penulis ingin mengingatkan bahwa, ada perbedaan “rasa” antara tindakan kepolisian dan tindakan hukum. Tindakan Kepolisian mencakup tindakan hukum adalah suatu perbuatan hukum oleh kepolisian atas nama peraturan perundang-undangan, berdasarkan kewenangan dan amanah jabatan termasuk diskresi, untuk memulihkan suatu keadaan dengan menjadikan pelaku kekerasan sebagai pelaku tindak pidana ataupun “tidak”. Si pelaku sebagai tersangka untuk kemudian diajukan ke peradilan, tetapi dapat juga kepolisian hanya memberikan sanksi bagi Si pelaku untuk melaksanakan wajib lapor atau sanksi perdata misalnya mengganti kerusakan. Adakah wajib lapor atau ganti rugi ini berdasarkan hukum? Suatu kajian hukum memberi peluang untuk itu, termasuk didalamnya suatu kewenangan diskrisioner kepolisian.

Karakteristik dari kekerasan kolektif atau kekerasan yang dilakukan bersama-sama oleh kelompok masyarakat harus terklasifikasi secara jelas oleh Kepolisian agar apa yang dilakukan oleh kepolisian tidak menjadikan polisi terjebak pada excessive power atau violence (tindakan secara berlebihan atau kekerasan), atau bahkan polisi menjadi sasaran kekerasan karena bimbang dalam melakukan tindakan. Tidak menutup kemungkinan bahwa kekerasan kolektif dipilih untuk menghancurkan wibawa pemerintah/ birokrasi ataupun suatu instansi. Praktek kekerasan ala vigilante, (praktek penegakan hukum partikelir dengan cara kekerasan dan pelibatan jumlah anggota yang sangat besar, gerakannya cepat, tanpa struktur formal telah memperlihatkan tunasnya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, misalnya penutupan diskotik/ hiburan malam, razia miras yang dilakukan oleh suatu kelompok tertentu. Dan tidak pula bisa dipisahkan dari kekerasan ala vigilante, adalah gerakan mahasiswa di Jakarta yang menghancurkan fasilitas umum, termasuk membakar mobil-mobil berplat merah. Jasa pengerah tenaga demontrasi, adalah fenomena riil di Indonesia, yang dalam banyak kesempatan juga memberi sumbangan bagi tercederainya roh suci unjukrasa atas nama rekyat dan atas nama demokrasi. Sekarangnya saatnya pemerintah menghentikan praktek kekerasan ala “Vigalente” atau kekerasan kolektif lainnya, karena hal ini bukan cermin keleluasaan Negara dalam memeberikan ruang ekspresi bagi masyarakat, tetapi suatu anomaly (adanya aturan dan adanya aparat tidak mendorong kehidupan makin beradab dan damai tetapi malah mencemaskan/ menakutkan), seperti yang tercermin dari kekhawatiran oleh Presiden SBY bahwa Negara tidak boleh kalah dengan kekerasan kelompok.

Beberapa ciri dari kekerasan kolektif yaitu: Pertama, Spontanitas. Kekerasan kolektif dapat meledak dengan tidak dapat terperkirakan (eksplosif). Artinya bahwa ketika kekerasan itu terjadi tidak diawali dengan gejala-gejala wajar atau tahap-tahap umumnya suatu proses kejadian, tetapi pada dasarnya masyarakat mempunyai keinginan untuk berekasi karena adanya factor pemicu yang mereka anggap sebagai kesempatan. Pada spontanitas eksplosif ini, Kepolisian tindak berkesempatan untuk mencegahnya. Contoh; kekerasan massa di Indramayu terhadap BUS atau sopirnya yang menabrak masyarakat. Emosi kemarahan eksplofis ini, karena masyarakat meyakini bahwa proses hukum berbeli-belit, lama, mahal dan seringkali hukumannya menurut masyarakat sangat ringan untuk ukuran hilangnya nyawa seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Penulis tahun 2002 di Indramayu, menunjukkan bahwa massa melakukan kekerasan kepada sopir atau melakukan pembakaran bus, karena telah tertanam dibenak masyarakat bahwa selama ini terjadi kolusi antara Polisi dengan pengusaha bus, sehingga proses hukum tidak dilakukan, dan bahkan proses penyantunan bagi keluarga korban berbelit-belit, atau tidak cukup untuk biaya perawatan atau penguburan.

Apabila kekerasan diawali dengan penyebaran issue maka akan terjadi peningkatan emosi massa. Kecepatan penyebaran issue (eskalatif) yang sangat berpengaruh terhimpunnya emosi massa, makin lama makin membesar seperti fenomena snowball effect. Pada proses seperti ini sebetulnya Kepolisian masih memiliki kesempatan melakukan tindakan Kepolisian meskipun sempit untuk mencegah terjadinya kekerasan. Contoh: kasus pembunuhan dalam isue dukun santet oleh massa di Cisewu Garut, yang penulis ikut tangani tahun 2001 (saat itu penulis adalah Kabag Ops Polres Garut). Ketidak akuratan Polsek dan satuan inteljen menilai kecepatan penyebaran issue atau eskalatif mengakibatkan terlambatnya Kepolisian (Polres Garut) mengambil tindakan pencegahan. Pada aspek inilah Kepolisian harus mengasah kepekaan dalam deteksi dini dan meningkatkan kemampuannya menganalisi kecepatannya pecahnya emosi massa, untuk kemudian melakukan tindakan kontijensi secukupnya untuk mencegah terjadinya kekerasan.

Ciri kedua adalah Voltilitas. Artinya bahwa kekerasan kolektif merupakan situasi tingkah laku yang mudah berubah. Hal ini disebabkan karena mereka (massa) pada dasarnya tidak ingin mengambil peran utama dalam pelaksaan kekerasan. Oleh karena itu kekerasaan kolektif selalu menunggu acuan tingkah laku, karena kelompok ini bukanlah kelompok terstruktur. Pada situasi ini yang harus dicermati oleh Kepolisian adalah tindakan-tindakan provokatif yang memantik kekerasan, baik oleh massa maupun oleh petugas kepolisian itu sendiri. Adanya simpul massa ataupun koordinator lapangan (korlap) unjuk rasa sesungguhnya telah diwajibkan oleh Pasal 11 UU No.9 Th 1998, sehingga seharusnya menurut UU tersebut, masing-masing pihak punya itikad baik untuk mencegah terjadinya kekerasan

Ciri Ketiga, adalah Transitoris. Yaitu cepat redanya perilaku kekerasaan karena mereka susungguhnya tidak terikat emosinya secara kuat dengan permasalahan yang muncul, kecuali terdapat kelompok inti yang agitatif dan provokatif dengan cara memanipulasi kebenaran dan mengekspoitasi permasalahan. Pemberitaan secara terus menerus oleh media massa terhadap terjadinya kekerasan akan mendidihkan emosi marah. Bahkan pemberitaan yang tidak berimbang ataupun hanya dari satu sisi sorot camera akan merugikan salah satu pihak, bahkan dapat berakibat pada penyesatkan kebenaran. Pada Kasus Unas Jakarta, Kepolisian telah terperangkap pada situasi ini, dimana kamera “hanya” menyorot sisi kekerasan polisi, dan menampilkan anggota Komnas HAM, yang komentarnya menempatkan polisi pada posisi pelanggar, dan itu terjadi berhari-hari yang dapat melemahkan moril petugas dilapangan. Betapa pun kesalnya pimpinan polri terhadap “keperpihakan” media massa dan komentator, operasional polisi dilapangan harus tetap dijaga dan moralitasnya harus selalu diperbaiki, agar keputusasaan dan kegalauan hati anggota Dalmas dan Dakhura Brimob yang lebih parah dapat dihindari.

Jangan pula dilupakan bahwa masih cukup banyak masyarakat kita (termasuk mahasiswa) menganggap bahwa kekerasan kolektif akan sulit disidik oleh polisi karena mereka mengganggap hal itu merupakan tanggungjawab bersama, padahal sejatinya anggapan itu tidak benar, karena pertanggungjawaban pidananya selalu bersifat pribadi. Bahkan dalam teknis dan taktis Kepolisian dengan dukungan teknologi elektronik unjukrasa massa yang bersifat homogen betapun besarnya akan mudah untuk mendapati siapa-siapa yang memantik kekerasan, kecuali dalam hal massa sangat “cair dan heterogen”.

Permasalahan yang juga agak khusus adalah bahwa kenyataannya ada kelompok tertentu menganggap bahwa kekerasan yang mereka lakukan adalah suatu tugas suci atas keyakinannya. Itulah mengapa Kepolisian tidak boleh hanya mengandalkan kemampuannya sendiri dan harus tetap menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, khususnya dalam menghadi hal-hal yang bersifat spesifik.

Kalaulah uraian di atas disimpulkan, maka permasalahan kunci dalam mengantisipasi terjadinya kerusuhan, maka pihak pengunjuk rasa harus taat secara prosedur perijinan (tepat tempat, hari, waktu) dan taat teknis unjukrasa (metode, adanya korlap, tidak membawa benda yang tidak diijinkan dsb). Sedangkan bagi pihak Kepolisian hal yang paling dominan memicu kerusuhan adalah karena perlakuan kekerasan (violence), atau tindakan berlebihan (excessive power)., dimana hal ini barang kali menyangkut kematangan emosi petugas ataupun kekeliruan dalam menilai atau menafsirkan titik didih emosi massa. Prof. DR. Harkristuti Harkrisnowo, SH., menambahi catatan bahwa salah satu kekerasan oleh kepolisian juga disebabkan kekeliruan dalam persepsi polisi sendiri mengenai fungsi dan kewenangannya dalam menangani berbagai masalah sosial dimasyarakat, yang ada terselip pemahamannya bahwa pengunjukrasa yang melakukan kekerasan harus pula dibalas dengan kekerasan.

Meski bukan hal aneh dalam alam demokrasi, namun keikutsertaan beberapa anggota dewan melakukan unras, telah meligitimasi terjadinya kekerasan massa. Aneh padahal dewan mempunyai medannya sendiri (tetapi semoga jangan sampai terjadi massa ikut melakukan hak angket dan interpelasi).

Itulah taksonomi pokok yang penulis amati dalam beberapa kekerasan massa. Tentu penulis berharap agar berbagai pihak tidak hanya pandai menuding tanpa memahami permasalahan secara holistic, termasuk kekerasan yang bersumber pada akar budaya. Bahwa masing-masing dari kita bukan hanya punya hak tetapi juga punya kewajiban menjaga keamanan dan ketertiban, dan tentu lebih indah seandainya ketidakpuasan kepada pemerintah atau lembaga tertentu dapat kita ekspresikan dengan kemampuan mengendalikan diri.

Muhammad SAW, berkata, “Permudahlah jangan mempersulit. Allah mengarnugerahkan dengan kelemahlembutan apa yang tidak dianugerahkan-Nya melalui kekerasan, bahkan apa yang tidak dianugerahkan dengan cara lain” (HR. Al-Bukhori-Muslim). Pesan Nabi ini berlaku bukan hanya untuk petugas kepolisian tetapi juga untuk masyarakat.

3 Comments:

  1. andriasari said...
    I'm agree with your opinion in your article "Taksonomi..etc", but I think we must understand People in Indonesian have a differnt motivation and beckground, especialy "Culture", and I think Police and government must take a "Wish solution"..
    andriasari said...
    Kekerasan adalah fenomena sosial yang harus di formulasikan adalah kebijakan yang "integrated" alias menyeluruh, merupakan satu kesatuan, pada tataran inilah "hukum" semestinya berperan, sebagai regulator tentunya sikap Polisi yang tetap harus proaktif dan bijak TIDAK ADA KEBERPIHAKAN BAGI PIHAK MANAPUN ATAU SIAPAPUN
    rinaldy said...
    Alhamdulillah, terus terang saja saya sangat bangga atas semua tulisan anda. Memang sudah selayaknya kita memiliki polisi yg paripurna seperti anda. Sepanjang dasar-dasar agama melekat pada setiap aparatur negara, termasuk polisi, maka negara ini akan mendapatkan ridho Allah SWT. Mari kita dukung upaya KP. Taufik memberikan warna baru bagi polisi yg kita cintai..... Amiiin.

    rinaldy

Post a Comment



Designer: Douglas Bowman | Dimodifikasi oleh Abdul Munir Original Posting Rounders 3 Column