ISTIQOMAH - PROFESIONAL - AMANAH

KULIAH HAM STH GARUT - VII

PERLINDUNGAN HAM BAGI KELOMPOK RENTAN

Kelompok rentan adalah orang-orang yang lemah dan rawan terhadap hukum dan HAM, dengan karakteristik-karakteristik yang mencirikan usia, jenis kelamin, suku/ ras, kelompok minoritas dan pengungsi (baik pengungsi lintas batas maupun pengungsi di dalam internal Negara atau Internally Displace Persons (IDPs). Kelompok ini sering menjadi sasaran kejahatan dan penyalahgunaan wewenang/ kekuasaan, sasaran pelanggaran HAM, dan tidak mendapat penghormatan yang layak sebagai manusia, serta tidak mampu melindungi dirinya secara yang seharusnya. Kelompok ini perlu mendapatkan perlindungan hukum baik oleh aparat penegak hukum maupun Negara. Kelompok-kelompok rentan adalah:

1. Anak-anak

2. Perempuan

3. IDPs (Internally Displace Persons) dan pengungsi

4. Kelompok Minoritas


A. HAM ANAK:

Anak masuk ke dalam kategori rentan karena:

1. Fisik yang masih lemah

2. Psikis yang masih labil

3. Pengetahuan yang masih terbatas

4. Pengalaman hidup yang kurang

Dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak, memuat prinsip-prinsip perlindungan anak mewajibkan perlakuan:

1. non diskriminasi

2. kepentingan terbaik anak

3. hak hidup, berkelanjutan dan perkembangan

4. menghormati/ menghargai pendapat anak

Perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan dan diskriminasi, yang merupakan bagian dari perlindungan negara terhadap warga negaranya dinyatakan dengan secara tegas pada Pasal 28B (2) UUD 1945, “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Demikian juga jaminan terhadap anak untuk mendapatkan pendidikan, ditegaskan pada Pasal 31 (1) 1945, dimana untuk pendidikan dasar bagi anakpun pemerintah wajib membiayainya (pasal 31 (2) UUD 1945).

Terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, anak juga berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Makna keadilan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum tidak berarti bahwa tata cara penanganan hukum (hukum formil) untuk perkara yang melibatkan anak dan orang dewasa diberlakukan ketentuan yang sama. Keadilan di sini justru harus memperhatikan hakekat dari anak yang sesungguhnya sangat berbeda dalam kematangan fisik ataupun mentalnya apabila dibandingkan dengan orang dewasa. Anak merupakan tunas, potensi, dan generasi muda yang sedang dalam tahap awal perkembangan, yang harus diberi kesempatan untuk tumbuh berkembang secara optimal baik fisik, mental, sosial dan akhlaknya (imannya), oleh karena itu perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak. Untuk penanganan tindak pidana anak (hukum formilnya) mutlak harus dilakukan dengan cara yang berbeda, serta diberlakukan ketentuan yang juga berbeda menyangkut sanksi pidananya (pada hukum materiilnya).

Terhadap anak terlantar negara mempunyai kewajiban untuk memelihara (Pasal 34 (1) UUD 1945), dan juga negara bertanggungjawab atas penyediaan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan ( Pasal 28H (1) UUD 1945).

Perkembangan fisik, mental sosial dan akhlak seorang anak, akan sangat tergantung oleh kondisi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan masyarakat. Lingkungan yang baik akan membawa dampak positif dalam membangun pemahaman anak terhadap kehidupannya, yang juga akan mempengaruhi sikap tindak dan pola hidupnya. Sedangkan lingkungan yang jelek akan menjerumuskan anak kepada sikap tindak dan pola hidup yang buruk. Dari sinilah kemudian pendidikan secara umum (intelektual, emosional, spiritual/moral) dipandang penting dan perlu ditanamkan sejak dini baik di rumah maupun di sekolah, sehingga tidak hanya akan melahirkan anak-anak yang cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional (kesalehan sosial), dan memiliki kepribadian yang bermoral (kepekaan spiritual).

Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab terhadap kesejahteraan anak baik secara fisik, mental, sosial dan akhlaknya, setelah itu baru masyarakat dan negara. Demikian juga bagi seorang anak yang mengalami masalah kenakalan anak, tingkah laku yang menyimpang atau kejahatan anak (delinquency), bukan hanya keluarga yang mempunyai tanggungjawab untuk mengembalikan anak kepada nilai-nilai moralitas yang baik melalui pembinaan, asuhan, pencegahan dan rehabilitasi, tetapi pemerintah dan masyarakat juga memiliki kewajiban yang sama (Pasal 11 (4) Undang-Undang RI. Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak), termasuk terhadap anak-anak yang mengalami cacat fisik dan cacat mental (Pasal 7 UU Kesejahteraan Anak). Dengan demikian kewajiban negara dalam memberi perlindungan terhadap anak yang mengalami masalah anak dalam konsep negara hukum mencakup perlindungan:

1. anak-anak yang tidak mampu

2. anak-anak terlantar

3. anak-anak yang mengalami masalah penyimpangan perilaku

4. anak-anak cacat fisik dan cacat mental.

Dan terhadap anak yang tidak mengalami hal-hal tersebut diatas, negara, orang tua bersama-sama masyarakat tetap mempunyai kewajiban untuk menjamin, melindungi dan mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya sebagai anak yang merupakan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa.

Hak-hak universal anak telah dideklarasiakan dalam forum Sidang Umum PBB tanggal 20 November 1959. Deklarasi ini dimaksudkan untuk mendorong negara-negara di dunia agar memenuhi hak anak dan dirumuskan dalam peraturan perundang-undangannya ataupun melalui langkah meratifikasi konvensi PBB terkait dengan hak anak tersebut. Ada 10 (sepuluh) prinsip tentang hak anak menurut deklarasi tersebut:

(1) Setiap anak harus menikmati semua hak yang tercantum dalam deklarasi ini tanpa terkecuali, tanpa perbedaan dan diskriminasi.

(2) Setiap anak harus menikmati perlindungan khusus, harus diberikan kesempatan dan fasilitas oleh hukum atau oleh peralatan lain, sehingga mereka mampu berkembang secara fisik, mental, moral, spiritual dan sosial dalam cara yang sehat dan normal

(3) Setiap anak sejak dilahirkan harus memiliki nama dan identitas kebangsaan.

(4) Setiap anak harus menikmati manfaat dari jaminan sosial.

(5) Setiap anak baik secara fisik, mental dan sosial yang mengalami kecacatan harus diberi perlakuan khusus, pendidikan, dan pemeliharaan sesuai dengan kondisinya.

(6) Untuk perkembangan pribadinya secara penuh dan seimbang setiap anak memerlukan kasih sayang dan pengertian.

(7) Setiapa anak harus menerima pendidikan secara cuma-cuma dan atas dasar wajib belajar.

(8) Setiap anak dalam situasi apapun harus menerima perlindungan dan bantuan yang pertama.

(9) Setiap anak harus dilindungi dari setiap bentuk keterlantaran, tindak kekerasan, dan eksploitasi.

(10) Setiap anak harus dilindungi dari setiap praktek diskriminasi berdasarkan rasial, agama dan bentuk-bentuk diskriminasi lainnya.

Melalui Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1990, Indonesia telah meratifikasi prinsip-prinsip dari hak anak dalam Konvensi Hak Anak (KHA) tersebut, yaitu menyetujui/ mengakui/ berkehendak memenuhi hak-hak anak tanpa memandang ras, jenis kelamin, asal-usul keturunan, agama maupun bahasa. Hak-hak anak tersebut dikelompokkan menjadi 4 (empat) bidang:

(1) Hak atas kelangsungan hidup, mencakup hak atas tingkat hidup yang layak dan pelayanan kesehatan.

(2) Hak untuk berkembang, mencakup hak atas pendidikan, informasi, waktu luang, ekpresi, berkreasi, keyakinan/ beragama serta hak anak cacat atas pelayanan, perlakuan dan perlindungan khusus.

(3) Hak perlindungan, mencakup perlindungan dari eksploitasi, perlakuan kejam dan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana

(4) Hak partisipasi, mencakup hak kebebasan berpendapat, berserikat serta hak untuk ikut dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya.

Pemerintah Indonesia telah mengahasilkan beberapa perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi hak anak dan menjamin anak agar masa depannya yang masih panjang dapat diwujudkannya sesuai minat, bakat dan potensinya melalui bimbingan orangtua/ wali, pemerintah dan peran lembaga-lembaga lainnya, serta masyarakat, khususnya anak yang berhadapan dengan hukum, kelompok anak yang rentan terhadap pelanggaran hukum (anak terlantar dan anak miskin) dan anak cacat. Undang-undang tersebut adalah; UU Perlindungan Anak, UU Peradilan Anak, UU Kesejahteraan Anak, UU Pemasyarakatan anak, dan beberapa peraturan pemerintah lainnya.

Masalah anak terlantar ataupun anak jalanan, tidak dapat dilepaskan dari masalah kemiskinan struktural di dalam masyarakat, terbatasnya tempat bermain bagi anak yang murah dan mudah, pengabaian anak, lemahnya kontrol dan kendali orang tua terhadap anak dan adanya peluang mencari uang di jalan. Hal ini berlaku bagi anak terlantar atau anak jalanan pria maupun wanita. Fenomena ini membuka banyak kerawanan bagi ancaman masa depan anak dari peredaran narkoba/ psikotropika, penyimpangan, dan pelecehan seksual, seks bebas, bahkan perdagangan wanita dan anak. Sejurus dengan hal tersebut maka selanjutnya dapat meningkatkan penyebaran berbagai penyakit termasuk berjangkitnya HIV/AID di kalangan anak.

Bentuk-bentuk pelanggran HAM Anak menurut UU No 23 Tahun 2003:

- perdagangan anak

- perlakuan diskriminatif pada anak

- tidak diberi kesempatan untuk berkembang secara wajar

- mempekerjakan anak pada sektor penuh resiko (konvensi ILO 182)


B. HAM PEREMPUAN:

Berdasarkan hukum, kaum perempuan berhak atas kesempatan dan perlindungan HAM yang sama di bidang sipil, politik, ekonomi, social, budaya serta bidang-bidang lainnya. Harkat martabat dan hak asasi perempuan sebagai manusia seutuhnya sudah diakui melalui instrument-instrumen dasar masyarakat internasional, misalnya melalui Piagam PBB tentang persamaan hak bagi laki-laki dan perempuan, DUHAM. Di INDONESIA

Salah satu pertimbangan yang menyebabkan perempuan masuk ke dalam kategori rentan adalah kenyataan bahwa budaya tradisional melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan, perampasan hak seseorang karena dia adalah perempuan, dan praktek-praktek pelanggaran hak asasi perempuan. Misalnya; isu kepemimpinan, perjodohan dini, eksploitasi seksual atau ekonomi, pembunuhan untuk persembahan, sunat, dan lain-lain. Bahkan terdapat fenomena yang selalu menjadi kontroversi masyarakat karena berkaitan dengan keyakinan/ agama, yaitu praktek poligami.

Konferensi Dunia di Wina - Austria tahun 1993 tentang HAM memberikan perhatian khusus terhadap permasalahan ketidaksetaraan jender dalam menikmati HAM seutuhnya. Konferensi tersebut secara jelas mengakui bahwa, “hak-hak perempuan merupakan hak asasi manusia”, dan hak asasi perempuan adalah bagian yang tak terpisahkan dari HAM Universal, dalam hal ini termasuk kesetaraan jender.

Pengertian tentang jender, adalah pengertian tentang peran bukan pengertian tentang jenis kelamin. Ketidaksetaraan jender dibentuk oleh kondisi social (termasuk budaya, interpretasi, agama, struktur politik) yang menghasilkan perbedaan kedudukan, peran dan hubungan-hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Oleh karena itu maka tentang jender ini dapat berbeda tergantung pada konteks tempat, waktu, keyakinan/ agama, ras/ suku, serta dinamika kehidupan masyarakat dan tingkat pemahamnan masyarakat pada kurun waktu tertentu.

Kesetaraan jender bukan merupakan persoalan perempuan semata-mata, tetapi kepentingan semua orang karena hal ini menyangkut HAM dan berfungsi sebagai prasyarat serta indicator bagi pembangunan berorientasi masyarakat yang berkelanjutan (sustainable people centered development). Artinya bahwa upaya kesetaraan jender juga melibatkan peran laki-laki. Dengan demikian maka strategi dan kebijakan Negara harus pula memperhatikan dan mempromosikan kesetaraan jender, sehingga evolusi persepsi masyarakat menuju pemahaman kesetaraan jender menjadi indicator keberhasilan pembangunan

Namun harus pula disadari bahwa menjadi perempuan atau menjadi laki-laki bukanlah soal pilihan. Termasuk bukan pilihan pula apabila laki-laki memiliki karakter/ ciri fisik dan emosional yang secara umum juga berbeda dengan perempuan. Perbedaan yang didapat karena kodratnya tersebut adalah untuk memuliakan statusnya sebagai perempuan (hamil, menyusui dan membuai anaknya) tetapi bukan memotong atau merampas kesempatannya sebagai manusia yang mempunyai keinginan-keinginan untuk berprestasi.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perdaganagan perempuan, pelecehan seksual, dan stereotype- stereotype yang merendahkan perempuan adalah bagian yang harus dihilangkan agar harkat martabat perempuan dihormati, termasuk didalamnya ketika perempuan berurusan dengan hukum. Misalnya ketika diperiksa oleh polisi, atau tentang tempat penahanan.


C. HAM BAGI IDPs (INTERNALLY DISPLACED PERSONS) DAN PENGUNGSI

IPDs adalah istilah yang diambil dari bahasa inggris untuk menunjuk kepada pengertian “pengungsi di negeri sendiri”. Perbedaannya dengan pengungsi adalah pada situasi faktual lokasi mereka. Pengungsi adalah orang atau sekelompok orang yang meninggalkan tempat tinggalnya dengan melintasi batas antar negara, sedangkan IPDs adalah orang atau sekelompok orang yang meninggalkan tempat tinggalnya dengan tidak meninggalkan negaranya.

Sebab-sebab munculnya IPDs:

  1. konflik bersenjata
  2. kekacauan perekonomian
  3. bencana alam
  4. pelanggaran HAM menyangkut ras, agama, kebangsaan, keyakinan, kelompok sosial tertentu dan ideologis politik tertent
  5. tidak mampu kembali kewilayah asalnya/ tidak ingin kembali

Sedangkan pengungsi (warga negara lain) sebab-sebabnya biasanya adalah:

1. negaranya dalam keadaan perang

2. menjadi korban dari kepentingan kebijakan politik pemerintah atau perbedaan politik

Perlindungan hak asasi manusia kelompok rentan pada dasarnya sama saja, yaitu harus di hormati harkat martabatnya dan diperlakukan secara layak. Disamping itu korban kelompok rentan dberhak untuk mendapatkan perlindungan hukum, bantuan makan, medis, dan dalam hal-hal tertentu negara diwajibkan pula untuk memberikan genti rugi.


D. KELOMPOK MINORITAS :

*** Kelompok minoritas dalam kontek perlindungan HAM, adalah mendasarkan pada kebijakan negara atau pemerintah, yang tidak menempatkan kesetaraan hak sebagai seorang manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga negara, yang hakekatnya sama harkat martabatnya dengan orang lain. Pada prakteknya kelompok minoritas bukan hanya dalam cakupan negara tetapi dapat pula dalam cakupan wilayah tertentu, dengan demikian tidak hanya pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah wajib melindungi kelompok minoritas.

1. Pekerja migran (tenaga kerja dari negara lain)

2. Transimigrasi

3. Kelompok etnis

4. dan identitas tertentu

0 Comments:

Post a Comment



Designer: Douglas Bowman | Dimodifikasi oleh Abdul Munir Original Posting Rounders 3 Column