ISTIQOMAH - PROFESIONAL - AMANAH

HUKUM PROGRESIF:

POLISI TERBELENGGU:
Oleh: Taufik Rohman

Para akademisi hukum kembali tersentak dengan terungkapnya oleh media massa proses penahanan 10 orang anak penyemir sepatu usia 11 tahun – 14 tahun oleh Polres Metro Bandara Tangerang, karena kasus “bermain” yang disebut polisi sebagai perjudian (pasal 303). Penahanan di rutan anak tersebut mencapai 29 hari dan kemudian dilakukan penangguhan, dan kini kasusnya bergulir di pengadilan (edit terakhir: 10 anak-anak penyemir sepatu divonis bebas bersyarat).
Kasus serupa terjadi di akhir Mei 2009, dimana untuk menunggu jam tayang siaran langsung sepak bola Liga Campions, sekelompok pedagang sayuran keliling yang mengontrak secara bertetangga kamar ukuran 2x3 meter, melakukan permainan kartu remi. Bukannya menikmati aksi pemain bola, tetapi malah datang petugas polsek menangkap dan menahan 5 orang penjual sayuran keliling itu, dengan tuduhan berjudi, meskipun barang bukti yang ada hanyalah Rp.4.000,- (empat ribu rupiah). Contoh menarik lainnya: Satu saat terjadi seorang paruhbaya membelikan anaknya sepeda motor keluaran tahun 2004, demi menghemat biaya perjalanan ke sekolah. Singkat cerita karena tidak mampu membeli secara cash maka si penjual menahan BPKB dan STNK, yang sesungguhnya tidak dimiliki oleh si penjual karena sepeda motor tersebut hasil pencurian. Berselang seminggu ternyata pembeli tadi didatangi polisi, kemudian menyita sepeda motor dan menahannya karena tuduhan kasus penadahan (pasal 480).
Tulisan ini sekilas membedah dianutnya model hukum legalistic positivisme yang telah memakan “korban” yang sesungguhnya tidak perlu dan bisa dihindari. Satjipto Raharjdo menyindir bahwa praksis penegakan hukum ternyata hanya “mengeja undang-undang, dari pada menemukan hukum di dalam undang-undang”, atau seperti yang dikatakan ahli hukum Paul Scholten, bahwa hukum memang ada di dalam undang-undang, tetapi hukum harus masih ditemukan dalam prakteknya. Menemukan hukum dalam peraturan atau UU adalah menemukan makna dan nilai yang terkandung dalam peraturan dan tidak hanya membacanya secara “datar” begitu saja. Satjipto Rahardjo menggunakan kata-kata (membaca atau mengeja), yang begitu halus untuk menyindir aparat yang melakukan penegakan hukum dengan lebih patuh kepada susunan kata dan prosedur dari pada taat kepada nilai keadilan. Membaca (atau mengeja) peraturan secara datar adalah memecahkan masalah tanpa melihat konteks, sehingga penegakan hukum tidak menghadirkan empati, komitmen dan dedikasi. Ahli hukum lainnya, Dworking, menyarankan agar para aparat penegak hukum memiliki ketrampilan “Moral Reading”, yaitu sebuah ketrampilan pembacaan bermakna dengan menyertai pemaknaannya secara filsafati, seperti keadilan dan tujuan diadakannya hukum.
Praksis polisi tersebut diatas adalah model penegakan hukum secara legalistic positivisme. Cara berfikir yang digunakan adalah mengeja undang-undang dan patuh prosedur dengan mengabaikan nilai keadilan substantive, dan prakteknya menanggalkan bahasa nurani. Mereka mendalihkan bahwa pekerjaan mereka membutuhkan kepastian, sehingga hukum digunakan sebagaimana stetoskop para dokter. Praksis hukum menjadi praksis yang lebih sibuk mengoperasikan skema-skema hukum (rule and logic) dari pada bertanya apakah fungsi hukum dalam masyarakat sudah berjalan dengan baik. Apabila itu terjadi, sesungguhnya kita sudah terjebak ke dalam paham “manusia untuk hukum”, dan bila aparat penegak hukum berpegang pada keyakinan bahwa manusia untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan atau mungkin juga dipaksakan untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Praksis seperti ini membuat seorang Bismar Siregar dengan geram mengatakan bahwa “Keadilan di atas peraturan/ prosedur”.
Sebaliknya penegakan hukum yang menghadirkan compassion empati, determinasi, nurani dan dedikasi terhadap kemanusiaan disebut penegakan hukum progresif. Penegakan hukum seperti ini mengikuti maksim, hukum mengabdi kepada manusia atau kemanusiaan, dan dalam prakteknya bersifat humanis. Paham ini adalah minoritas praksis hukum di Kepolisian.
Adakah polisi bisa menerapkan praksis penegakan hukum progresif? Para positifistik di Kepolisian sering lupa bahwa mereka mempunyai hak diskresionil, yang itu bisa menjadi pintu masuk bagi praksis penegakan hukum progresif. Seandainya mau menukik lebih dalam, bagaimana melihat hukum tidak semata dengan optik hukum, maka gunakan optik “deep ecology”, yaitu suatu perspektif hukum yang melibatkan semua entitas kehidupan manusia (holistic) sebagai satu kesatuan kehidupan, dan ditupun merupakan sumber pencerahan dalam berhukum progresif, bukan semata mengeja susunan kata dan mentaati prosedur. Kajian ini menjadi landasan bagi kearifan berfikir, bahwa hukum bukanlah bertujuan menciptakan kepastian hukum semata atau keadilan prosedur atau “legal justice”, tetapi “substantial justice”. Satu hal yang perlu dipegang teguh bahwa hukum tidak boleh melepaskan diri dari fungsi utamanya yaitu melayani manusia, dan setiap kali fungsi tersebut terusik maka kita perlu melakukan sesuatu yang kreatif untuk mengatasinya.
Penangkapan dan penahanan, terhadap 10 anak penyemir sepatu usia 11 tahun – 14 tahun di Tangerang tidak perlu terjadi seandainya polisi memahami secara sungguh-sungguh filosofi yang mendasari dari UU Perlindungan Anak, yaitu perlakuan terbaik bagi anak. Secara substansi, anak-anak juga tidaklah sedang berjudi tetapi sedang bermain sebuah permainan tanpa harus kehilangan kesempatan menyemir sepatu bila pelanggan lewat atau datang. Kalaupun hal permaianan anak-anak tersebut dianggap sebagai pidana, ada cara yang lebih humanis sebagai prevensi special, misalnya wajib lapor, dari pada menahannya yang dapat menimbulkan dampak traumatis dan menghancurkan masa depan anak-anak tersebut. Penahanan penjual sayuran keliling juga tidak perlu dilakukan jika polisi menggunakan moral reading tidak saja terhadap undang-undang tetapi terhadap konteksnya, sehingga cukup dengan wajib lapor saja. Penahan terhadap pembeli sepeda motor yang tertipu (sudah jatuh tertimpa tangga), juga tidak perlu dilakukan, karena semua alat bukti sudah disita dan ditangan polisi.
Membangun budaya penegakan hukum progresif di Kepolisian harus dimulai, karena paradigma berhukum juga sudah mulai bergeser. Penegakan hukum bukan menuruti pemuasan prosedur dengan spirit menang kalah sehingga polisi harus selalu memilih tindakan maksimal tanpa melihat konteks, dan melibatkan empati serta dedikasinya sebagai manusia yang bernurani. Penegakan hukum progresif tetaplah dalam bingkai melindungi dan mengangkat masyarakat untuk menikmati keberlakuannya hukum, yaitu kepastian, keadilan dan manfaat dari terciptanya keamanan / ketertiban. Polisi tak boleh terbelenggu pada model penegakan hukum legalistik positifisme sehinga polisi akan kehilangan kesempatan untuk memberikan sumbangan bagi terciptanya kehidupan dan praksis hukum yang humanis. Dan Polisi dapat memulainya dari perkara-perkara yang kecil. (Taufik Rohman).

0 Comments:

Post a Comment



Designer: Douglas Bowman | Dimodifikasi oleh Abdul Munir Original Posting Rounders 3 Column